Tuesday 31 January 2012

Pengaruh Penggunaan Starter Pediocoocus acidilactici F-11 dan Kosentrasi Garam terhadap Mikroflora (Bakteri) selama Fermentasi Peda

Rinto

Dipublikasikan dalam Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia Vol. XIII No. 1 Tahun 2010. Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia dan Departemen Teknologi HaSil Perairan IPB

 Abstract

Peda was one of traditional fermented fish product. The fermentation with culture starter gives effect of fermented process. The purpose of this research was to know present of microflora / microorganisms during fish fermentation by Pediococcus acidilactici F-11  as a starter. Peda was processed from Indiana mackerel fish (Rastrelliger neglectus) with different salt concentrations  i.e. 20%, 25%, and 30%,  with Pediococcus acidilactici F-11 was used as a starter. Different batch without starter was used as a control. The result showed that peda with Pediococcus acidilactici as starter can decreased coliform number to 2 log cycles from 1,3 x 106  to  1,7 x 104CFU and reduced histamine forming bacteria to 3 log cycle from 1,2 x 106  to  3,8 x 103 CFU in start of  fish fermentation process, but in the end of process, the numbers of bacteria was not different, so Pediococcus acidilactici F-11 as starter was effective used in start of fish fermentation process.

Key word: Pediococcus acidilactici F-11, microorganism, peda
Peda merupakan salah satu produk fermentasi ikan tradisional. Fermentasi dengan penambahan kultur (starter) dapat memberikan pengaruh terhadap berlangsungnya proses fermentasi. Tujuan dari penelitian ini  adalah untuk mengetahui keberadaan mikroflora/mikroorganisme selama fermentasi ikan peda dengan penambahan Pediococcus acidilactici F-11 sebagai starter. Peda dibuat dari ikan kembung (Restrelliger neglectus) dengan perbedaan kosentrasi garam, yaitu 20%, 25%, dan 30%, dengan Pediococcus acidilactici F-11 sebagai starter. Satu perlakuan tanpa starter digunakan sebagai control. Hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan Pediococcus acidilactici F-11 sebagai starter dapat mengurangi coliform sebesar 2 log cycle dari 1,3 x 106 menjadi 1,7 x 104 CFU/g  dan mengurangi baklteri pembentuk histamine sebesar 3 log cycle dari 1,2 x 106 menjadi 3,8 x 106 CFU/g pada awal proses fermentasi. Tetapi pada akhir fermentasi, jumlah bakteri tidak mengalami perbedaan, sehingga Pediococcus acidilactici F-11 sebagai starter efektif digunakan pada awal fermentasi ikan peda.

Kata kunci: Pediococcus acidilactici F-11, mikroorganisme, peda


PENDAHULUAN
Pediococcus acidilactici F-11 merupakan bakteri asam laktat homofermentatif penghasil bakteriosin yang diisolasi dari produk fermentasi. Pediococcus acidilactici F-11 mempunyai kemampuan dalam mengawetkan bahan makanan karena dapat memproduksi asam laktat yang dapat menurunkan pH media dan menghasilkan bakteriosin (pediosin), sehingga keberadaan Pedioccus acidilactici F-11 lebih cepat menekan pertumbuhan bakteri lainnya. Pediococcus acidilactici F-11 telah digunakan dalam pembuatan ikan asin (inasua) dan mampu menekan pertumbuhan bakteri coliform serta meningkatkan kandungan bakteri asam laktat (Nendisa dan Rahayu, 2001).
Peda merupakan salah satu produk fermentasi pengolahan hasil perikanan Indonesia yang dibuat melalui proses penggaraman ikan dengan jumlah garam 20-30%. Tujuan dari penggaraman adalah untuk menekan aktivitas bakteri-bekteri pembusuk dan mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat. Selama proses fermentasi, pertumbuhan mikroorgaisme pada daging ikan tidak terkontrol. Beberapa bakteri pembusuk, coliform dan bakteri pembentuk histamin masih dapat tumbuh selama proses frmentasi. Bakteri pembentuk histamin menyebabkan kandungan histamin pada ikan peda cukup tinggi yaitu 107-133mg/100g ikan (Heruwati, 2002). Kandungan histamin pada peda telah melebihi standar keamanan pangan yang mensyaratkan tidak lebih dari 50mg/100g ikan (FAO, 2006). Pediococcus acidilactici F-11 dalam penelitian ini digunakan sebagai starter ataupun agensia untuk mengontrol keberadaan mikroflora/mikroorganisme (bakteri) selama berlangsungnya proses fermentasi peda khususnya bakteri yang merugikan yaitu pembusuk (aerob), coliform dan bakteri pembentuk histamin sehingga kualitas ikan peda dapat ditingkatkan.

BAHAN DAN METODE
  1. Waktu dan tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium mikrobiologi Pusat Antar universitas, Universitas Gadjah Mada. Penelitian berlangsung dari Bulan Januari sampai dengan Juli 2006.
  1. Bahan dan Alat
Bahan baku pembuatan peda skala laboratorium adalah ikan kembung dan garam dan isolat  Pediococcus acidilactici F-11.Media yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Plate Count Agar (Oxoid), Niven Differential Agar, VRBA (Merch), dan PGY.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu autoclave (Hiclave HVE-25 Hiramaya), oven (Hereus type UT 5042 EK), waterbath (GFL), incubator, mikropipet, stomacher 80 (Seward Tekmar), dan Coloni counter (Dorkfield Quebec), Sedangkan alat gelas yang digunakan berupa cawan petri, gelas erlenmeyer, gelas ukur, gelas beker, pengaduk,  corong, dan tabung reaksi.
C.  Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang mikroflora (mikroorganisme) pada ikan peda selama proses fermentasi. Penelitian dilakukan dengan mengkombinasikan kosentrasi garam (20, 25, dan 30%) serta penambahan Pediococcus acidilactivci F-11 (109 CFU/ml) pada pembuatan ikan peda yang masing-masing dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Analisis yang dilakukan meliputi jumlah bakteri aerob dengan media Plate count agar (Oxoid), jumlah bakteri coliform dengan media VRBA (Merch), jumlah bakteri asam laktat dengan media PGY, dan jumlah bakteri pembentuk histamin dengan media Niven differential agar. Perhitungan jumlah bakteri berdasarkan metode Total Plate Count yang ditumbuhkan dengan cara pour plate. Selain itu dilakukan analisis kadar garam, air, Aw dan pH sebagai pendukung berdasarkan AOAC 1990. Hasil penelitian dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Bakteri aerob
Bakteri aerob merupakan bakteri yang hidup dengan membutuhkan oksigen, baik aerob obligat maupun anaerob fakultatif. Total bakteri aerob pada ikan selama fermentasi dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

 Gambar 1. Log bakteri aerob tanpa penambahan Pa f-11 selama fermentasi
(♦ : garam 20%; ■ : garam 25%; dan ▲ : garam 30%)
Gambar 2. Log bakteri aerob dengan penambahan Pa f-11 selama fermentasi
(♦ : garam 20%; ■ : garam 25%; dan ▲ : garam 30%)
Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah bakteri aerob pada ikan kembung segar sebesar 1.5 x 106 CFU/gram. Hal ini menunjukan bahwa ikan kembung yang digunakan sebagai bahan baku fermentasi peda berada pada kondisi ambang batas kesegaran. Lebih dari 106 CFU/gram, ikan sudah dimasukan kedalam kategori mulai membusuk. Tingginya kandungan bakteri aerob pada ikan dapat disebabkan oleh penanganan yang kurang baik dari para nelayan maupun pada pengumpul.  Kurangnya penggunaan es pada penyimpanan ikan dapat mamacu pertumbuhan bakteri-bakteri pembusuk.
Kandungan jumlah bakteri aerob obligat pada ikan segar sebesar 7,5% meliputi Micrococcus luteus dan  Planococcus citreus, bakteri fakultatif anaerob sebesar 68% terdiri dari  Aeromonas spp., Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae, Pediococcus halophilus, Proteus mirabilis, Vibrio alginolyticus, dan V. anguillarum. Sedangkan bakteri anaerob obligat sebesar 24% yaitu Clostridium bifermentas, C.botulinum type C, C. ghoni, C. mangenotii, C. novyi type B, C. perfingens,  dan  C. Sardiniensis. Diantara bakteri tersebut yang dapat membentuk histamin pada ikan segar adalah Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis, Vibrio alginolyticus, dan Clostridium perfingens (Yoshinaga dan Frank, 1982).  
Perlakuan perendaman ikan yang telah disiangi kedalam air es tanpa kultur starter menyebabkan pertambahan jumlah bakteri aerob 7.1 x 106 CFU/gram. Hal ini dimungkinkan adanya kontaminasi bakteri baik dari air, es maupun tempat perendaman yang berupa wadah plastik tanpa sterilisasi. Sedangkan pada perlakuan dengan perendaman dalam starter Pediococcus acidilactici F-11 sebanyak 1,7 x 109 CFU/ml menyebabkan perubahan jumlah bakteri aerob yang sangat signifikan yaitu menjadi 3,0 x 108 CFU/gram. Ini berarti telah terjadi penambahan bakteri asam laktat (Pediococcus acidilactici F-11) pada ikan sebagai starter yang akan digunakan pada tahap proses fermentasi selanjutnya.
Pada awal proses fermentasi peda tahap pertama (FI) tanpa menggunakan starter, total bakteri aerob pada ikan mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan ikan segar, kecuali pada perlakuan penggaraman awal 30%. Peningkatan ini menunjukan mulai adanya pertumbuhan bakteri halofilik/halotoleran pada proses fermentasi, mengingat kadar garam pada ikan setelah satu minggu fermentasi tahap pertama  berkisar antara  6,22 – 7,48%. Menurut   Dabrowski et al. (2001), selama proses fermentasi (penggaraman) terjadi suksesi (pergantian) dominasi bakteri pada ikan yaitu dari gram negatif  ke bakteri gram positif, diantaranya yaitu bakteri asam laktat.
Adanya penurunan jumlah bakteri aerob pada ikan dengan penggaraman awal 30% disebabkan oleh tingginya kosentrasi garam awal yang digunakan. Semakin tinggi garam yang digunakan pada awal penggaraman menyebabkan molekul-molekul garam semakin cepat meresap kedalam daging ikan dan cairan dalam tubuh ikan tertarik keluar . Keluarnya cairan drip ikan menyebabkan berkurangnya kadar air pada daging ikan dan mengurangi nilai aktivitas air (Aw), sehingga menghambat pertumbuhan bakteri.
Penambahan starter Pediococcus acidilactici F-11 menyebabkan penambahan jumlah bakteri aerob pada ikan sebelum proses fermentasi. Namun, setelah satu minggu fermentasi tahap pertama (FI), jumlah bakteri aerob mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan karena adanya bakteriosin (Pediosin) yang telah terbentuk pada saat pembuatan kultur starter. Proses terserapnya Pediosin oleh beberapa bakteri secara maksimum terjadi pada pH 6,0–6,5 (Yang et al. 1992). Hal ini didukung oleh data nilai pH pada ikan setelah fermentasi tahap pertama (FI) berkisar antara 6,30-6,45, sehingga aktivitas bakteriosin pada awal fermentasi tahap pertama (FI) berjalan maksimal dan menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri yang terdapat pada ikan, baik bakteri asam laktat lainnya maupun bakteri-bakteri pembusuk. Ini menyebabkan jumlah bakteri aerob pada ikan setelah fermentasi tahap pertama (FI) yang menggunakan starter mengalami penurunan dibandingkan dengan sebelumnya.
Total bakteri aerob pada saat minggu kedua berlangsungnya fermentasi atau fermentasi tahap kedua minggu 1 (F2-1) baik menggunakan starter ataupun tidak, menunjukan penambahan dibandingkan dengan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi bakteri pada saat penirisan yang dilakukan secara terbuka. Namun pada proses fermentasi minggu berikutnya jumlah bakteri aerob kembali mengalami penurunan dan relatif stabil sampai akhir fermentasi (F2-4) berkisar antara 7,4 x 105 - 1,6 x 107 CFU/gram.
Secara umum, pola pertumbuhan bakteri aerob pada ikan dengan penggaraman awal 20% hampir sama dengan  penggaraman 25%. Keduanya mempunyai perbedaan dengan pertumbuhan bakteri aerob pada penggaraman awal 30%.
Kadar garam pada penggaraman 25% lebih cenderung sama (tidak berbeda nyata secara statistik) dengan penggaraman 30%. Begitu pula dengan pH, Aw dan kadar air, tidak bisa mencerminkan kondisi yang mendukung pola pertumbuhan bakteri aerob seperti pada Gambar 1 dan 2. Oleh karena itu perlu penelitian lanjut yang dapat menjawab mengapa pertumbuhan bakteri aerob pada penggaraman awal 20 dan 25% memiliki pola yang sama, sedangkan keduanya berbeda dengan penggaraman 30%. Hal ini terjadi pula pada pola pertumbuhan bakteri coliform, bakteri asam laktat dan bakteri pembentuk histamin khususnya perlakuan tanpa penambahan starter Pediococcus acidilactici F-11.
B. Bakteri asam laktat
Bakteri asam laktat merupakan bakteri yang berperan penting dalam proses fermentasi. Hasil pengamatan terhadap kandungan bakteri asam laktat selama proses fermentasi peda dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Log  bakteri asam laktat tanpa penambahan Pa f-11 selama fermentasi (♦ : garam 20%; ■ : garam 25%; dan ▲ : garam 30%)
Gambar 4. Log bakteri asam laktat dengan penambahan Pa f-11 selama fermentasi peda (♦ : garam 20%; ■ : garam 25%; dan ▲ : garam 30%)

Hasil penelitian menunjukan bahwa proses fermentasi peda dapat meningkatkan total BAL dari ikan segar sebesar 3-4 log cycle. Jumlah bakteri asam laktat sebelum berlangsungnya proses fermentasi, pada ikan yang direndam dalam air tanpa starter sebanyak 5,20x103CFU/gram.  Satu minggu setelah fermentasi tahap pertama jumlah bakteri asam laktat mengalami peningkatan. Peningkatan ini menunjukan adanya suksesi kandungan bakteri dari bakteri-bekteri gram negatif (pembusuk) pada ikan segar menjadi bakteri gram positif yaitu bakteri asam laktat (Dabrowski  et al., 2001). Menurut Rahayu (2003) serta Tanasupawat dan Komagata (1999), bakteri asam laktat yang ditemukan pada peda adalah Lactobacillus plantarum, L. curvatus, L. murinus, dan Streptococcus thermophilus.
Kandungan bakteri asam laktat pada penggaraman ikan 20% tanpa starter lebih tinggi dibandingkan dengan penggaraman awal 25 dan 30% tanpa starter. Semakin tinggi kadar garam yang terserap pada daging ikan, kandungan bakteri asam laktat semakin rendah. Ini disebakan oleh kemampuan bakteri asam laktat terhadap kadar garam pada suatu media juga berbeda-beda. Kosentrasi garam pada fermentasi dengan penggaraman awal 20% tanpa starter adalah 6,22%, sedangkan pada penggaraman 25 dan 30% tanpa starter adalah 7,37% dan 7,48%. Kandungan bakteri asam laktat pada penggaraman 20% tanpa starter lebih tinggi dibandingkan dengan penggaraman 25 dan 30% tanpa starter. Di dalam Axelsson (1993) menyebutkan bahwa beberapa bakteri asam laktat yang tahan pada kadar garam 6,5% adalah beberapa Lactobacillus, Aerococcus, Enterococcus, beberapa Leuconostoc, beberapa Pediococcus, dan Tetragenococus. Sedangkan bakteri Streptococcus dan beberapa Lactobacillus tidak tahan pada kosentrasi garam 6,5%.
Pada fermentasi menggunakan starter Pediococcus acidilactici F-11, rata-rata jumlah bakteri asam laktat lebih sedikit dibandingkan dengan penggaraman tanpa starter. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1) Pediosin yang terbentuk pada saat pembuatan kultur dalam media TGE meresap kedalam daging ikan pada saat ikan direndam dalam kultur dan mampu menekan pertumbuhan beberapa bakteri asam laktat lainnya, terutama diawal fermentasi. Beberapa bakteri asam laktat yang dapat dihambat pertumbuhannya oleh pediosin yaitu Lactobacillus brevis, Lactobacillus plantarum, L. Lactis ssp, dan beberapa Pediococcus lainnya  (Davidson dan Hoover, 1993). 2) Kadar garam dalam daging ikan pada akhir fermentasi tahap pertama (FI) dengan penambahan starter Pediococcus acidilactici F-11 lebih tinggi bila dibandingkan tanpa starter berkisar antara 7,04-7,44%, sehingga bakteri asam laktat yang tidak tahan pada kondisi tersebut, tidak akan tumbuh.
Semakin lama waktu fermentasi, kadar garam pada daging ikan terus mengalami peningkatan (Lampiran 2). Meningkatnya kadar garam pada daging ikan menyebabkan jumlah bakteri asam laktat terus mengalami penurunan sampai akhir fermentasi (F2-4).
C.    Coliform
Coliform merupakan bakteri indikator sanitasi dan higiene produk makanan. Keberadaan bakteri coliform dapat berasal dari bahan baku, maupun lingkungan selama proses produksi, penyimpanan ataupun penyajian. Keberadaan bakteri coliform pada peda selama proses fermentasi dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
Total bakteri coliform pada ikan kembung segar sebesar 9,0 x 103 CFU/gram. Setelah mengalami penyiangan dan pencucian kemudian direndam dalam air es tanpa starter Pediococcus acidilactici F-11 jumlah bakteri coliform sedikit mengalami penurunan menjadi 3,0 x 103 CFU/gram.

Gambar 5.   Log jumlah bakteri coliform tanpa penambahan Pa F-11 selama fermentasi peda (♦ : garam 20%; ■ : garam 25%; dan ▲ : garam 30%)
Gambar 6.   Log jumlah bakteri coliform dengan penambahan Pa F-11 selama fermentasi peda (♦ : garam 20%; ■ : garam 25%; dan ▲ : garam 30%)

Pada awal fermentasi tahap pertama (FI) tanpa menggunakan starter dengan penggaraman 20 dan 25%, bakteri coliform mengalami peningkatan dari sebelumnya. Pada penggaraman 30% juga mengalami peningkatan, walaupun sangat sedikit (masih dalam nilai log cycle yang sama). Adanya peningkatan bakteri coliform pada ikan setelah satu minggu fermentasi tahap pertama dimungkinkan karena kondisi ikan (media tumbuh) yang masih dapat digunakan untuk pertumbuhann coliform. Analisa terhadap pH menunjukan kisaran nilai 6,30-6,45 (Lampiran 2). Eschericia coli sebagai salah satu bakteri coliform tumbuh optimum pada pH 6,0 – 7,0 (Atlas, 2001). Selain itu kadar garam pada ikan sebesar 6,22- 7,48%. Pada kadar garam 6,5% dalam media Tripticase Soy broth (TSB), E. coli  masih dapat tumbuh walaupun sangat lambat. Jumlah sel bakteri yang pada mulanya 5x102 CFU/ml akan tetap berkembang namun tidak akan lebih dari 107 CFU/ml (Glass, et al., 1992).
Pada awal fermentasi tahap kedua minggu kesatu (F2-1), jumlah bakteri coliform tidak banyak berubah dari fermentasi tahap pertama (FI) dan cenderung mulai ada penurunan. Adanya proses penirisan selama satu malam pada akhir fermentasi tahap pertama memungkinkan terjadinya kontaminasi coliform dari lingkungan. Namun kadar garam pada ikan yang cenderung naik menyebabkan terhambatnya pertumbuhan coliform.
Penggunaan starter Pediococcus acidilactici F-11 pada awal fermentasi dengan penggaraman yang sama menyebabkan berkurangnya kandungan bakteri coliform. Pada penggaraman awal 20%, jumlah  bakteri coliform berkurang 2 log cycle dari 1,3x106 menjadi 1,7x104CFU/gram, pada penggaraman 25% berkurang 1 log cycle dari 6,9x105 menjadi 1,7x104CFU/gram; dan pada penggaraman 30% juga mengalami pengurangan walaupun sangat sedikit yaitu dari 4,0x103 menjadi 3,0x103CFU/gram. Adanya aktivitas bakteriosin (Pediosin) dari Pediococcus acidilactici F-11 terbukti dapat mengurangi kandungan coliform pada ikan. Selain itu pertumbuhan coliform juga agak terhambat dengan kosentrasi garam pada daging ikan yang berkisar antara 7,045 – 7,44%, walaupun nilai pH-nya masih memungkinkan bagi pertumbuhan bakteri coliform yaitu antara 6,25 – 6,75.
Setelah minggu kedua fermentasi tahap kedua (F2-2) dengan penambahan starter Pediococcus acidilactici F-11, bakteri coliform tidak mengalami perkembangan bahkan cenderung menurun dibandingkan sebelumnya. Makin tinggi kadar garam pada daging ikan menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu nilai aktivitas air (Aw) yang berkisar antara 0.74-0.78 merupakan media yang tidak cocok untuk perkembangan bakteri coliform. Pada Aw 0.75–0.80 dengan kondisi garam yang tinggi didominasi oleh bakteri-bakteri halotoleran/halofilik.
Pada minggu kedua fermentasi tahap kedua (F2-2) sampai akhir fermentasi (F2-4) kandungan jumlah coliform terus mengalami penurunan sampai dengan 0 CFU/gram (tidak ada yang tumbuh pada media VRBA dengan pengenceran 10-1). Semakin tinggi kadar garam, berkurangnya kadar air dan nilai aktivitas air (Aw) merupakan faktor penyebab berkurangnya jumlah bakteri coliform.
Penggunaan garam 30% pada proses fermentasi baik dengan penambahan starter Pediococcus acidilactici F-11 maupun tidak, menunjukan jumlah dan pola perkembangan ataupun penurunan bakteri coliform yang sama. Hal ini menunjukan bahwa penambahan starter Pediococcus acidilactici F-11 tidak efektif digunakan pada fermentasi ikan dengan penggaraman 30%.
D. Bakteri Pembentuk Histamin
Semakin banyak kandungan bakteri pembentuk histamin pada ikan, berpeluang semakin meningkatkan kandungan histaminnya. Keberadaan bakteri pembentuk histamin selama proses fermentasi peda dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.
Gambar 7.   Log jumlah bakteri pembentuk histamin tanpa penambahan Pa F-11 selama fermentasi peda (♦ : garam 20%; ■ : garam 25%; dan ▲ : garam 30%)
Gambar 8.   Log jumlah bakteri pembentuk histamin dengan penambahan Pa F-11 selama fermentasi peda (♦ : garam 20%; ■ : garam 25%; dan ▲ : garam 30%).

Bakteri pembentuk histamin sudah terdapat pada ikan kembung segar sebanyak 1,0 x 104 CFU/gram sebelum fermentasi. Menurut Yoshinaga dan Frank (1982) beberapa bakteri yang dapat  menghasilkan histamin pada ikan segar yaitu Morganella morganii, Klesbiella pneumoniae, Clostridium perfingens,  dan Hafnia alvei. Adanya bakteri pembentuk histamin pada ikan segar memungkinkan terbentuknya histamin pada daging ikan sebelum terjadinya proses fermentasi apabila suhu penanganan tidak dikontrol. 
Pada minggu pertama proses fermentasi (FI) tanpa penambahan starter, bakteri pembentuk histamin mengalami penambahan. Pertumbuhan bakteri pembentuk histamin paling besar pada penggaram awal 20% tanpa starter. Hal ini disebabkan oleh kadar garam daging ikan pada penggaraman awal 20% lebih rendah bila dibandingkan dengan yang lainnya (Lampiran 2). Semakin tinggi kadar garam pada daging ikan menyebabkan semakin terseleksinya bakteri yang tumbuh pada daging ikan, sehingga bakteri pembentuk histamin pada penggaraman awal yang lebih tinggi akan lebih sedikit dibandingkan dengan penggaraman yang lebih rendah.
Pada awal fermentasi tahap kedua (F2-1), masih terdapat kenaikan jumlah bakteri pembentuk histamin. Adanya proses penanganan setelah fermentasi tahap pertama meliputi pencucian dan penirisan memungkinkan terjadinya kontaminasi ikan oleh beberapa bakteri yang dapat membentuk histamin. Namun jumlah bakteri pembentuk histamin pada proses fermentasi selanjutnya terus mengalami penurunan.
Penambahan starter Pediocoocus acidilactici F-11, efektif mengurangi jumlah bakteri pembentuk histamin pada awal fermentasi (F1). Fermentasi menggunakan starter dengan penggaraman 20% dapat mengurangi kandungan bakteri pembentuk histamin sebesar 3 log cycle dari 1,2x106 menjadi 3,8x103CFU/gram. Pada penggaraman 25% bakteri pembentuk histamin dapat berkurang sebanyak 2 log cycle dari 1,6x105 menjadi 7,5x103CFU/gram,  sedangkan pada penggaraman 30%, kandungan bakteri pembentuk histamin tidak banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan tanpa menggunakan starter. Hal ini menunjukan bahwa penambahan kultur  Pediocoocus acidilactici F-11 terbukti efektif menekan bakteri pembentuk histamin pada awal fermentasi dengan penggaraman 20% dan semakin menurun dengan bertambahnya jumlah garam yang ditambahkan pada ikan.
Pada fermentasi tahap kedua (F2-1) dengan penggaraman 20% yang menggunakan starter jumlah bakteri pembentuk histamin adalah 103 koloni/gram (relatif stabil (sama dengan F2-1)). Hal ini dimungkinkan walaupun terdapat kontaminasi dari luar pada saat pembersihan garam dan penirisan, namun bakteriosin yang terbentuk oleh Pediococcus acidilactisi F-11 mampu menekan pertumbuhan kontaminan. Sedangkan pada penggaraman awal 25 dan 30%, jumlah bakteri pembentuk histamin cenderung meningkat. Peningkatan ini disebabkan oleh aktivitas Pediococcus acidilactici F-11 yang kurang optimal dengan meningkatnya kadar garam pada daging ikan. Semakin tinggi kadar garam pada daging, menyebabkan semakin lemah daya saing Pediococcus acidilactici F-11. Dilain pihak, beberapa bakteri seperti Staphylococcus, Vibrio,  dan  Pseudomonas  masih bisa bertahan hidup pada kadar garam 10-15% dan mempunyai kemampuan membentuk histamin (Mahendradatta, 2003).
Pada minggu ketiga fermentasi (F2-2) kandungan bakteri pembentuk histamin terus mengalami penurunan baik pada fermentasi menggunakan starter maupun tanpa starter. Penurunan ini lebih disebabkan oleh peningkatan kadar garam pada ikan. Adanya pola penurunan dan jumlah yang sama antara bakteri pembentuk histamin pada fermentasi dengan menggunakan starter dan yang tidak, menunjukan aktivitas Pediococcus acidilactici F-11 sudah tidak optimal mengontrol pertumbuhan bakteri pembentuk histamin mulai minggu ketiga (F2-1) sampai akhir fermentasi (F2-4).

Kesimpulan
Penggunaan Pediococcus acidilactici F-11 sebagai biokontrol mikroflora (bakteri) selama fermentasi peda efektif digunakan pada penggaraman rendah yaitu 20%. Ini ditunjukan oleh terhambatnya pertumbuhan coliform dan bakteri pembentuk histamin  selama proses fermentasi. Penambahan Pediococcus acidilactici F-11 pada penggaraman awal lebih dari 25% tidak efektif digunakan untuk menekan pertumbuhan coliform  dan bakteri pembentuk histamin.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Assosiation of Official Analysis Chemical. Official Method Analysis. 15th. Ed. Washington.

Axelsson, L.T. 1993. Lactic acid bacteria: Clasification dan Physiology. Dalam Lactic Acid Bacteria. 1993. Salminem, S dan A.V. Wright. Marcell Dekker Inc. New York.

Dabrowski, W., K. Czeszejko, A. Gronet, A. Wesolowska. 2001. Microflora of Low-Salt Herring. Electronic Journal of Polish Agricultural Universities. Volume 4 Issue 2.

Davidson, P.M.dan D.G. Hoover. 1993. Antimicrobial Components from Lactic Acid Bacteria. Dalam Lactic Acid Bacteria. Salminem, S. Dan A.V. Wright. Marcel Dekker Inc. New York.

FAO. 2006. Fermented Fish in Africa: A Study on Processing, Marketing and Consumption. FAO Corporated Document Repository

Glass, K.A., J.M. Loeffelhoz, J.P. Ford, dan M.P. Doyle. 1992. Fate of Eschericia coli O157:H7 as Affected by pH or Sodium Chloride and in Fermented, Dry Sausage. Appl. And Envir. Micro. 58 (8): 2513-2516.

Heruwati, E.S. 2002. Pengolahan Ikan secara Tradisional: Prospek dan Peluang Pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian. 21 (3).

Mahendraratta, M. 2003. The Change of Histamine Content in Some Fish-Bashed Foods during Storage. Indonesia Food dan Nutrition Progress. -61.

Nendissa, J.S. dan E.S. Rahayu. 2001. Pemanfaatan Kultur Pediococcus acidilactici F-11 Penghasil Bakteriosin untuk Memperbaiki Kualitas Ikan Asin Gurame. Himpunan Makalah Seminar Nasional Teknologi Pangan. Prosiding Buku B: Mikrobiologi dan Bioteknologi Pangan. P:B017-178. Semarang.

Rahayu, E.S. 2003. Lactic Acid Bacteria in Fermented Foods in Indonesian Origin. Agritech. 23(2): 75-84.

Tanasupawat, S. dan K. Komagata. 1999. Lactic Acid Bacteria in Fermented Foods in Southeast Asia. Dalam Nga, B.H., M.H. Tan, dan K.I Suzuki, Microbial Diversity in Asia: Technologi and Prospects. World Scientific.

Yang, R. dan B. Ray. 1994. Factor Influencing Production of Bacteriocin by Lactic Acid Bacteria. Food Microbiology. 11:281-292.

Yoshinaga, D.H. dan H.A. Frank. 1982. Histamine-Producing Bacteria in Decomposing Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis). Appl. Envir. Micro. 44 (2) : 447-452.

Monday 30 January 2012

KARAKTERISTIK IKAN SEPAT RAWA (Trichogaster trichopterus) ASIN DURI LUNAK

 Rinto,  Parwiyanti

Dipublikasikan dalam Majalah Ilmiah Sriwijaya Vol. XVI No. 8. Tahun 2009. Universitas Sriwijaya.

ABSTRACT

The purpose of the research was to study the characteristic of sepat rawa (Trichogaster trichopterus) presto salted fish with the low salt content at different drying. The research used the Factorial Randomized Block Designed which was arranged factorial with two factors of treatment and  three times replication.  The factors were salt concentration (5%, 10%, 15%, and 20%) and different drying (sun shine, oven at 60oC and oven at 70oC).  The parameters were chemical characteristic (water content, salt content, protein content, and fat content), and sensory characteristics (color, odor, taste, texture and appearance). The result showed that different salt concentration, different drying method and both interaction had significantly effected on water content, salt content, protein content, and fat content.  The water content average were 11.14% to 29.37%, the salt content were 4.28% to 15.42%, protein content were 48.13% to 7.58%.  Fat content were 17.30% to 25.86%.  The sensory average for hedonic analyze were 1.48 to 2.36 of color, 1.56 to 4.48 of  odor, 1.2 to 2.48 of taste, 1.28 to 2.64 of  texture, and 1.6 to 2.4 of appearance.  The best treatment presto salted fish was at salt concentration (5%) and drying oven (60oC).

Keywords : presto salted fish



I.  PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang

Kabupaten Ogan Ilir memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Luas perairan rawa 36% dari luas wilayah keseluruhan (2600km2) serta adanya Sungai Ogan yang melintasi Kabupaten Ogan Ilir, menghasilkan berbagai jenis ikan, beberapa diantaranya yaitu ikan sepat, tambakan, gabus, betok, dan lele. Ikan sepat merupakan komoditi yang selalu dipasarkan setiap hari di Pasar Inderalaya. Hal ini dikarenakan tangkapan ikan sepat melimpah di Wilayah Kabupaten Ogan Ilir.

Selama ini, untuk mengantisipasi kerusakan atau kemunduran mutu ikan sepat yang tidak habis dijual, dilakukan penggaraman dan pengeringan yang menghasilkan ikan asin. Proses penggaraman dan pengeringan dapat mengawetkan ikan karena menghambat kegiatan enzimatis dan mikroorganisme pembusuk pada ikan.
Semakin tinggi kadar garam yang digunakan akan menyebabkan ikan semakin awet dengan penampakan (tekstur) yang menarik, namun hal ini akan mengurangi minat konsumen karena rasa ikan yang semakin asin dan juga berbahaya bagi orang-orang yang menderita darah tinggi (hipertensi). Penggunaan kadar garam yang rendah (<10%) menyebabakan ikan rusak (busuk dan ulatan) selama pengeringan. Selain itu, ikan sepat yang tergolong ikan berdaging tipis mempunyai duri yang menggangu saat dikonsumsi. Sehingga perlu dicari cara yang dapat membuat ikan asin dengan kadar garam rendah dan mudah dikonsumsi (tidak terganggu oleh keberadaan duri).
Proses pengolahan dengan menggunakan panci tekan (press cooker) juga merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengawetkan ikan, terutama ikan bandeng presto. Pengolahan ikan menggunakan press cooker dapat mengurangi kadar air dan melunakan tulang ikan (ikan duri lunak), sehingga selain ikan lebih awet juga lebih mudah dikonsumsi. Namun, ikan duri lunak tidak dapat disimpan lama seperti ikan asin. Ikan duri lunak hanya dapat tahan selama 4-6 hari pada suhu kamar.
Oleh Karena itu dalam penelitian ini dikaji diversifikasi metode pengolahan dengan menggabungkan antara pengolahan menggunakan penggaraman, pres cooke dan pengeringan pada ikan sepat. Dari penelitian ini diharapkan menghasilkan ikan sepat asin yang berduri lunak dan walupun menggunakan penggaraman yang berkadar rendah, ikan asin dapat bertahan lebih lama.

B.  Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

a.       Memperoleh ikan sepat asin yang berkadar garam rendah (<10%).

b.       Memperoleh ikan sepat asin yang berduri lunak sehingga lebih mudah dan aman untuk dikonsumsi.


C. Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah adanya diversifikasi produk ikan sepat sehingga dapat membantu mengatasi permasalahan melimpahnya ikan sepat dan beberapa kekurangan pada ikan sepat asin.

II.  METODE  PENELITIAN
A.  Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan dua perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali.  Secara rinci perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.  Konsentrasi garam (A)
      A1  :    5 % dari berat ikan (500 g)
      A2  :  10 % dari berat ikan (500 g)
      A3  :  15 % dari berat ikan (500 g)
      A4  :  20 % dari berat ikan (500 g)

2.  Pengeringan (T)
     T1  :  Sinar matahari (lama pengeringan 3 hari)
     T2 : Pengeringan di dalam oven pada suhu 600C (lama pengeringan 6 jam 30 menit)
      T3 : Pengeringan di dalam oven pada  suhu 700C (lama pengeringan 5 jam)

B.  Cara Kerja

                Cara kerja pembuatan ikan asin sepat presto adalah sebagai berikut :
1.       Ikan dibersihkan dari sisik, insang dan isi perut, lalu dicuci bersih dan ditiriskan kemudian ditimbang sebanyak 500 g.
2.       Ikan yang telah ditimbang, dilumuri garam sesuai dengan perlakuan, kemudian didiamkan selama 24 jam.
3.       Ikan selanjutnya disusun dalam sarangan autoclave,pengukusan dilakukan selama 60 menit dengan tekanan 1,5 atm, kemudian diangkat dan ditiriskan.
4.  Ikan yang telah ditiriskan kemudian dikeringkan sesuai dengan perlakuan.

C.  Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi analisa kimia (kadar air dengan menggunakan metode oven, kadar garam dengan metode Kohman, kadar protein dgn metode Mikro-Kjeldahl, dan kadar lemak dengan metode soxhlet), dan analisa sensoris dengan menggunakan ui hedonik yang meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan kenampakan.

D.  Analisis Statistik
Data yang diperoleh diolah menggunakan statistik parametrik dan non parametrik.  Data hasil analisis kimia diolah dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial yang dianalisis dengan keragaman (Ansira) 5% dan akan diuji lanjut dengan uji BNJ, sedangkan data hasil sensoris (hedonik) meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan kenampakan diolah dengan metode Friedman connover.


III.  HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sifat Kimia
1.  Kadar Air

Rata-rata nilai kadar air ikan sepat rawa asin presto berkisar antara 11,14% sampai 29,37%.  Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan A4T3 (ikan asin dengan konsentrasi garam 20% pada pengeringan oven suhu 70oC) sedangkan yang terendah adalah perlakuan A1T1 (ikan asin dengan konsentrasi garam 5% pada pengeringan sinar matahari).  Rata-rata nilai kadar air yang diperoleh pada penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi garam, metode pengeringan, dan interaksi antara kedua perlakuan memberikan pengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kadar air ikan sepat rawa asin presto pada taraf uji 5%. Hasil uji lanjut BNJ pengaruh perbedaan konsentrasi garam disajikan pada Tabel 1.

Gambar 1.  Nilai kadar air (%, bb)
Keterangan :
A1 : Konsentrasi Garam 5%
T1 : Pengeringan Sinar Matahari
A2 : Konsentrasi Garam 10%
T2 : Pengeringan oven suhu 60oC
A3 : Konsentrasi Garam 15%
T3 : Pengeringan oven suhu 70oC
A4 : Konsentrasi Garam 20%
               
           
Tabel 1. Uji lanjut BNJ konsentrasi garam terhadap kadar air ikan sepat rawa asin presto
Konsentrasi Garam Rerata kadar air  NJ0,05 (A) = 0,91
         A1  (5%)                12,71               a
         A2 (10%)               17,32                   b
        A3 (15%)                22,42                        c
        A4 (20%)                24,53                            d
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata

            Hasil uji lanjut BNJ perbedaan konsentrasi garam A1 (konsentrasi garam 5%) berbeda nyata dibandingkan konsentrasi garam lainnya terhadap nilai kadar air ikan sepat rawa asin presto yang dihasilkan.  Ikan sepat asin presto dengan perlakuan konsentrasi garam yang tinggi memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan ikan sepat asin presto dengan perlakuan konsentrasi garam yang rendah.  Hal ini dikarenakan pada perlakuan konsentrasi garam yang tinggi mengakibatkan air yang ada didalam daging ikan akan sulit untuk keluar karena terikat kuat oleh garam.  Selain itu juga tingginya kadar air dikarenakan garam bersifat higroskopis sehingga akan menarik air dari lingkungan luar bahan. Aktivitas garam dalam menarik air ini erat kaitannya dengan peristiwa plasmolisis, dimana air akan bergerak dari konsentrasi garam rendah ke konsentrasi garam tinggi karena adanya perbedaan tekanan osmosis (Widyani dan Suciaty, 2008).





Tabel 2. Uji lanjut BNJ perbedaan metode pengeringan  terhadap kadar air ikan  sepat rawa asin presto
Metode pengeringan Rerata kadar air BNJ0,05 (A) = 0,76
T2 (oven suhu 60oC)              15,97             a   
T1 (sinar atahari)                   18,65                    b
T3 (oven suhu 70oC)              23,12                        c        

Pada proses pengeringan, temperatur udara dan waktu pengeringan berpengaruh terhadap laju pengeringan bahan yang dikeringkan. Pada pengeringan matahari proses penguapan berjalan lambat dan mengakibatkan pengeringan tidak merata sehingga menyebabkan hanya sebagian air saja yang dapat teruapkan terutama dibagian permukaan sedangkan dibagian dalam masih memiliki kandungan air yang cukup tinggi. Sedangkan pada pengeringan oven proses pengeringan dapat berjalan lebih cepat dimana faktor yang berhubungan dengan pengering seperti suhu, kecepatan aliran udara pengering, dan kelembapan udara dapat diatur sedemikian rupa sehingga proses pengeringan dapat berjalan dengan cepat. 
Bila temperatur yang digunakan terlalu tinggi akan menghasilkan panas yang berlebihan dan dapat merusak sifat bahan yang disebut case hardening yaitu bagian luar (permukaan) dari bahan sudah kering sedangkan bagian dalam masih basah.  Temperatur yang tinggi pada permukaan menyebabkan bagian luar cepat kering dan keras, akibatnya terjadi penghambatan penguapan air dari dalam bahan (Buckle et al., 1987). Hasil uji lanjut BNJ pengaruh interaksi perlakuan perbedaan konsentrasi garam dan pengeringan disajikan pada Tabel 3.

 Tabel 3. Uji lanjut BNJ interaksi perbedaan konsentrasi garam dan pengeringan terhadap kadar air ikan sepat asin presto
     Perlakuan  Rerata kadar air        BNJ0,05 (A) = 1,57
     A1T1             11,14                 a
     A1T2             12,44                 a
     A2T1             14,42                     b
     A1T3           14,54                       b
     A2T2             15,57                      b
     A3T2             17,36                          c
     A4T2             18,52                         c
     A2T3             21,96                            d
     A3T1             23,33                            d
     A4T1             25,71                                 e
     A3T3             26,60                                 e
     A4T3             29,37                                  f
           
Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa perlakuan A1T1 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan sinar matahari) berbeda tidak nyata dengan perlakuan A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC), tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.  Kadar air tertinggi terdapat pada ikan sepat rawa asin dengan perlakuan A4T3 (konsentrasi garam 20% pada pengeringan oven suhu 70oC).  Kadar air pada ikan sepat rawa asin presto ini masih memenuhi  SNI ikan asin kering yang telah ditetapkan. Dimana kadar air ikan sepat rawa asin berkisar antara 11,14%-29,37%, sedangkan   pada SNI kadar air maksimal adalah 40%.  Menurut Wiranatakusumah dalam Aisyah (2003), tingkat kadar air yang rendah pada bahan makanan dapat mencegah kerusakan secara mikrobiologis, enzimatis dan kimiawi sehingga dapat memperpanjang masa simpannya.

2.  Kadar Garam
Rata-rata nilai kadar garam ikan sepat rawa asin presto berkisar antara 4,28% sampai 15,42%.  Kadar garam tertinggi terdapat pada perlakuan A4T3 (ikan asin dengan konsentrasi garam 20% pada pengeringan oven suhu 70oC) sedangkan yang terendah adalah perlakuan A1T3 (ikan asin dengan konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 70oC).  Rata-rata nilai kadar garam yang diperoleh pada penelitian ini disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2.  Nilai kadar garam (%, bb)
           
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi garam, metode pengeringan, dan interaksi antara kedua perlakuan memberikan pengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kadar garam ikan sepat rawa asin presto pada taraf uji 5%.  Hasil uji lanjut BNJ pengaruh perbedaan konsentrasi garam disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Uji lanjut BNJ perbedaan konsentrasi garam  terhadap kadar garam ikan sepat rawa asin presto
Konsentrasi Garam                 Rerata kadar garam            BNJ0,05 (A) = 0,46
        A1 (5%)                        4,91                       a                   
        A2 (10%)                    10,36                             b
        A3 (15%)                    10,78                             b
        A4 (20%)                    13,87                                 c

            Hasil uji lanjut BNJ perbedaan konsentrasi garam 5% (A1) berbeda nyata dibandingkan konsentrasi garam lainnya terhadap kadar garam ikan sepat rawa asin presto.  Selama proses penggaraman, terjadi penetrasi garam dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dalam tubuh ikan karena perbedaan konsentrasi.  Bersamaan dengan keluarnya cairan dalam tubuh ikan, partikel garam akan memasuki tubuh ikan sehingga konsentrasi garam dalam tubuh ikan akan meningkat dan akan berhenti sama sekali setelah terjadi keseimbangan (Adawyah,  2007).  Pada perlakuan A1 dan A2 hampir semua garam yang ditambahkan terserap kedalam tubuh ikan, sedangkan pada perlakuan A3 dan A4 garam tidak dapat semuanya terserap ke dalam tubuh ikan.  Hal ini dikarenakan pada perlakuan A3 sudah tercapai titik jenuh sehingga tidak semua partikel garam dapat masuk kedalam tubuh ikan.

Tabel 5. Uji lanjut BNJ perbedaan metode pengeringan  terhadap kadar garam ikan  sepat rawa asin presto
 Met.pengeringan  Rerata kadar garam   BNJ0,05 (A) = 0,4
T2 (oven suhu 60oC)           9,81                        a             
T3 (oven suhu 70oC)           9,83                        a
T1 (sinar atahari)               10,30                              b

Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan T2 (pengeringan oven suhu 60oC) dan T3 (pengeringan oven suhu 70oC) berbeda tidak nyata, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan T1 (pengeringan sinar matahari) terhadap kadar garam ikan sepat rawa asin presto.  Ikan sepat rawa asin presto dengan perlakuan pengeringan menggunakan sinar matahari memiliki kadar garam yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pengeringan menggunakan oven pada suhu 60oC dan 70oC.  Hal ini dikarenakan pada pengeringan menggunakan oven, suhu yang digunakan lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan menggunakan sinar matahari.  Pada suhu yang lebih tinggi garam akan lebih mudah larut dalam air sehingga menyebabkan larutan garam akan lebih banyak keluar dari dalam tubuh ikan ketika proses pengeringan dan menyebabkan kadar garamnya menjadi berkurang.  Berkurangnya kadar garam selain dipengaruhi oleh suhu juga dipengaruhi oleh lamanya waktu pengeringan. Hasil uji lanjut BNJ pengaruh interaksi perlakuan perbedaan konsentrasi garam dan pengeringan disajikan pada Tabel 6.










Tabel 6. Uji lanjut BNJ interaksi perbedaan konsentrasi garam dan pengeringan terhadap kadar garam ikan sepat asin
Perlakuan     Rerata kadar garam    BNJ0,05 (A) = 0,76
   A1T3            4,28                                    a
    A1T1           5,00                                    ab
    A1T2           5,44                                        b
    A2T3           9,75                                          c
    A3T3           9,87                                          c
    A3T2         10,14                                         cd
    A2T2         10,46                                         cd
    A2T1         10,88                            d
    A3T1         12,34                               e
    A4T1         13,00                               ef
    A4T2         13,18                                  f
    A4T3         15,42                                    g

            Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa perlakuan A1T1 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan sinar matahari) berbeda tidak nyata dengan perlakuan A1T3 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 70oC) dan perlakuan A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC). Kadar garam tertinggi terdapat pada perlakuan A4T3 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC) yaitu sebesar 15,42%.  Kadar garam yang tinggi dipengaruhi oleh kandungan air yang terdapat didalam bahan tersebut.  Astawan (2005) menyatakan mineral dari bahan dapat larut kedalam air pada saat pemanasan, sehingga kadarnya menjadi berkurang.

3.  Kadar Protein

            Rata-rata nilai kadar protein ikan sepat rawa asin presto berkisar antara 48,13% sampai 67,58%.  Kadar protein tertinggi terdapat pada perlakuan A1T1 (ikan asin dengan konsentrasi garam 5% pada pengeringan sinar matahari) sedangkan yang terendah adalah perlakuan A4T2 (ikan asin dengan konsentrasi garam 20% pada pengeringan oven suhu 60oC).  Rata-rata nilai kadar protein yang diperoleh pada penelitian ini disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3.  Nilai kadar protein (%, bk)

            Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan metode pengeringan, konsentrasi garam dan interaksi antara kedua perlakuan memberikan pengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kadar protein ikan sepat rawa asin presto pada taraf uji 5%. Hasil uji lanjut BNJ pengaruh perbedaan konsentrasi garam disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Uji lanjut BNJ perbedaan konsentrasi garam  terhadap kadar protein ikan sepat rawa asin presto
Konsentrasi Garam   Rerata kadar protein    BNJ0,05 (A) = 2,68
        A4 (20%)                     51,91                        a            
        A3 (15%)                     53,83                        a
        A2 (10%)                     57,60                              b
        A1 (5%)                       61,96                                   c
Hasil uji lanjut BNJ perbedaan konsentrasi garam A4 (konsentrasi garam 20%)  tidak berbeda nyata dengan A3 (konsentrasi garam 15%) tetapi berbeda nyata dengan A2 (konsentrasi garam 10%) dan A1 (konsentrasi garam 5%) terhadap kadar garam ikan sepat rawa asin presto serta begitupun sebaliknya.  Semakin tinggi konsentrasi garam yang diberikan maka semakin rendah kadar proteinnya.  Hal ini dikarenakan pada perlakuan konsentrasi garam yang tinggi akan menyebabkan protein yang larut  dalam  larutan  garam  kuat  dan protein yang larut dalam air akan keluar bersamaan dengan keluarnya air ketika proses penggaraman.                        Menurut Rahayu et al., (1992), bahwa sifat dari protein miofibril adalah larut dalam air dan dapat larut dalam larutan garam kuat (NaCl).  Hasil uji BNJ pengaruh metode pengeringan disajikan pada      Tabel 8.

Tabel 8. Uji lanjut BNJ perbedaan metode pengeringan  terhadap kadar protein ikan  sepat rawa asin presto
Met.pengeringan          Kadar protein  BNJ0,05 (A) = 0,91
T2 (oven suhu 60oC)           50,49                      a             
T3 (oven suhu 70oC)           57,43                        b
T1 (sinar atahari)                 61,04                             c

Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan T2 (pengeringan oven suhu 60oC) berbeda nyata dengan perlakuan pengeringan T3 (pengeringan oven suhu 70oC) dan perlakuan T1(pengeringan sinar matahari) terhadap kadar protein ikan sepat rawa asin presto.  Semakin tinggi suhu pemanasan dan lamanya waktu pemanasan menyebabkan protein menjadi terdenaturasi.  Rendahnya kadar protein disebabkan karena pada saat dikeringkan protein yang larut dalam air dan protein yang larut dalam larutan garam akan hilang ketika proses pengeringan berlangsung. Pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya menurun (Widyani dan Suciaty, 2008). Hasil uji lanjut BNJ pengaruh interaksi perlakuan perbedaan konsentrasi garam dan pengeringan disajikan pada Tabel 9.

 Tabel 9. Uji lanjut BNJ interaksi perbedaan konsentrasi garam dan pengeringan terhadap kadar protein ikan sepat asin presto
Perlakuan       Rerata kadar protein BNJ0,05 (A) = 4,66
    A4T2            48,13                             a
    A3T2            50,61                                 ab
    A2T2            51,11                                ab
    A1T2            52,14                                ab
    A4T3            53,50                                    b
    A4T1            54,10                                    b
    A3T3            54,91                                  b
    A2T3            55,17                                  b
    A3T1            55,99                                  b
    A1T3            66,16                                    c
    A2T1            66,51                                    c
    A1T1            67,58                                    c
           
Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa perlakuan A4T2 (konsentrasi garam 20% pada pengeringan oven suhu 60oC) berbeda tidak nyata dengan perlakuan A3T2 (konsentrasi garam 15% pada pengeringan oven suhu 60oC), A2T2 (konsentrasi garam 10% pada pengeringan oven suhu 60oC) dan A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC), tetapi berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya.  Kadar protein tertinggi terdapat pada ikan sepat rawa asin dengan perlakuan A1T1 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan matahari).


4.  Kadar Lemak
            Rata-rata nilai kadar lemak ikan sepat rawa asin presto berkisar antara 17,30% sampai 25,86%.  Kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan A1T2 (ikan asin dengan konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC) sedangkan yang terendah adalah perlakuan A4T1 (ikan asin dengan konsentrasi garam 20% pada pengeringan sinar matahari).  Rata-rata nilai kadar lemak yang diperoleh pada penelitian ini disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4.  Nilai kadar lemak (%, bk)

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan metode pengeringan, konsentrasi garam dan interaksi antara kedua perlakuan memberikan pengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kadar lemak ikan sepat rawa asin presto pada taraf uji 5%. Hasil uji lanjut BNJ pengaruh perbedaan konsentrasi garam disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Uji lanjut BNJ perbedaan konsentrasi garam  terhadap kadar lemak ikan sepat rawa asin presto
Konsen. Garam  Rerata kadar lemak  BNJ0,05 (A) = 1,87
        A4 (20%)                   18,60                     a 
        A3 (15%)                   20,19                          b
        A2 (10%)                   21,21                          b
        A1 (5%)                     22,81                                c       

            Hasil uji lanjut BNJ perbedaan konsentrasi garam A4 (konsentrasi garam 20%)  berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya.  Perlakuan A3 (konsentrasi garam 15%) tidak berbeda nyata dengan perlakuan A2 (konsentrasi garam 10%) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.  Perlakuan A1 (konsentrasi garam 5%) berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya terhadap kadar lemak ikan sepat rawa asin presto serta begitupun sebaliknya.  Hal ini ditunjukkan dengan semakin tinggi konsentrasi garam yang diberikan maka menyebabkan kadar lemaknya menjadi rendah.  Semakin tinggi konsentrasi garam akan mengakibatkan kadar airnya semakin banyak sehingga akan menyebabkan terjadinya hidrolisis lemak.  Hidrolisis adalah suatu proses kimia yang menggunakan H2O sebagai pemecah suatu persenyawaan termasuk inversi gula, saponifikasi lemak dan ester, serta pemecahan protein      (Kuswurj, 2008). 

Tabel 11. Uji lanjut BNJ perbedaan metode pengeringan  terhadap kadar lemak ikan  sepat rawa asin presto
Met.pengeringan      Kadar lemak    BNJ0,05 (A) = 1,62
T1 (sinar matahari)             18,45                    a               
T3 (oven suhu 70oC)           21,13                          b
T2 (oven suhu 60oC)           22,36                          b

Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan T2 (pengeringan oven suhu 60oC) dan T3 (pengeringan oven suhu 70oC) tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan T1 (pengeringan sinar matahari) terhadap kadar lemak ikan sepat rawa asin presto. Salah satu sifat lemak adalah apabila terkena panas yang terlalu lama dapat mengakibatkan penurunan kadar lemak yang  banyak (Prabandari et al., 2006). Menurut Aitken dan Connel (1979) dalam Heruwati et al. (1996) menyatakan bahwa pemanasan akan mengakibatkan oksidasi lemak. Hasil uji lanjut BNJ pengaruh interaksi perlakuan perbedaan konsentrasi garam dan pengeringan disajikan pada Tabel 12.

 Tabel 12. Uji lanjut BNJ interaksi perbedaan konsentrasi garam dan pengeringan terhadap kadar lemak ikan sepat asin presto
Perlakuan     Rerata kadar lemak     BNJ0,05 (A) = 3,24
A4T1           17,30                             a
A4T3           17,97                             ab
A3T1           18,49                             ab
 A2T1          18,49                             ab
 A1T1          19,42                             ab
 A4T2          19,82                             ab
 A3T3          20,71                               b
 A3T2          21,38                               b
 A2T2          22,36                               b
 A2T3          22,69                               bc
 A1T3          23,15                                 c
A1T2           25,86                                 c

            Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa perlakuan A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC) berbeda tidak nyata dengan perlakuan A1T3 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 70oC) dan A2T3 (konsentrasi garam 10% pada pengeringan oven suhu 70oC).  Kadar lemak tertinggi terdapat pada ikan sepat rawa asin presto dengan perlakuan A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC ).  Tingginya kadar lemak dipengaruhi oleh adanya perbedaan konsentrasi garam, cara pengeringan, dan lamanya waktu pengeringan. Semakin rendah konsentrasi garam yang diberikan maka semakin tinggi kadar lemaknya, sedangkan penggunaan suhu pengeringan yang tinggi dan lamanya waktu pengeringan akan menyebabkan kadar lemaknya menjadi rendah.

C.  Sifat Sensori
Uji hedonik dilakukan oleh 25 orang panelis semi terlatih  yang melakukan penilaian terhadap ikan sepat rawa asin presto meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan kenampakan.  Skala penilaian kesukaan mulai dari sangat tidak suka sampai sangat suka dengan skor       1 sampai 3.

1.  Warna

Nilai tingkat kesukaan panelis berkisar antara 1,48 (tidak suka) sampai dengan 2,36 (suka). Hasil perhitungan Friedman-Conover pada uji hedonik warna ikan sepat rawa asin presto menunjukkan bahwa ikan sepat rawa asin presto dengan perlakuan A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC) berbeda tidak nyata dengan perlakuan A2T2 (konsentrasi garam 10% pada pengeringan oven suhu 60oC).  Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa ikan sepat rawa asin dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Nilai hedonik warna

Dari gambar 6. dapat dilihat bahwa warna yang dihasilkan pada perlakuan dengan sinar matahari paling tidak disukai oleh panelis, hal ini dikarenakan warna ikan sepat rawa asin  yang dihasilkan berwarna agak kusam dibandingkan dengan perlakuan pengeringan pada oven suhu 60oC dan 70oC. Pada umumnya, ikan yang dikeringkan berubah warna menjadi coklat. Menurut Winarno (1992) reaksi antara senyawa organik dengan udara akan menghasilkan warna hitam, atau coklat gelap (reaksi oksidasi). 
Adanya pemakaian suhu yang tinggi pada proses pengeringan menyebabkan perubahan warna ikan sepat rawa presto yang dihasilkan cenderung menurun.  Menurut Desrosier (1988), Yeo dan Shibamoto (1991) dalam Ulfah (2009), bahwa suhu tinggi menyebabkan reaksi pencoklatan dari gula dan asam-asam amino  (reaksi Maillard) makin meningkat yang berpengaruh terhadap warna dan flavor yang tidak diinginkan pada bahan makanan.

2.  Aroma

Hasil penilaian panelis terhadap aroma ikan sepat rawa asin presto disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Nilai hedonik aroma

Hasil penilaian panelis terhadap aroma ikan sepat rawa asin presto berkisar antara 1,56 (tidak suka) sampai 4,48 (suka).  Penilaian tertinggi diberikan panelis pada sampel A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC) dan dan A2T3 (konsentrasi garam 10% pada pengeringan oven suhu 70oC)  sedangkan penilaian terendah diberikan pada sampel A1T1 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan sinar matahari). 
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa ikan sepat rawa asin presto dengan perlakuan A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC) berbeda nyata dengan perlakuan A1T1 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan matahari) tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya.  Pemanasan akan mempengaruhi gugus SH yang akan menyebabkan flavor yang tidak dikehendaki (Widyani dan Suciaty, 2008).  Aroma/bau merupakan hasil dari respon indera pencium yang diakibatkan oleh menguapnya zat-zat sedikit larut dalam lemak pada suatu produk makanan ke udara sehingga dapat direspon oleh indera pencium, yaitu hidung, dan dikenali oleh sistem tubuh sebagai bau/aroma tertentu (Winarno, 1997).


3.  Rasa

Hasil penilaian panelis terhadap rasa ikan sepat rawa asin presto disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Nilai hedonik  rasa

Hasil penilaian panelis terhadap rasa yang dihasilkan produk ikan sepat rawa asin presto diketahui berkisar antara 1,2 sampai 2,84.  Peilaian rasa tertinggi diberikan panelis pada sampel A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC) sedangkan penilaian rasa terendah diberikan pada sampel A4T3 (konsentrasi garam 20% pada pengeringan oven suhu 70oC).  Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa ikan sepat rawa asin presto dengan perlakuan A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
 Dari perbedaan penilaian ini diketahui bahwa panelis lebih menyukai sampel ikan sepat rawa asin dengan perlakuan A1T2 (konsenrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC).  Hal ini dikarenakan ikan sepat asin dengan perlakuan A1T2 memiliki rasa yang tidak terlalu asin.  Semakin rendah konsentrasi garam yang ditambahkan maka makin disenangi oleh panelis akan rasa yang tidak terlalu asin.  Selain itu pada ikan sepat rawa asin dengan perlakuan A1T2 memiliki kadar air yang rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya sehingga rasa yang dihasilkan tidak terlalu asin.  Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur, serta cita rasa makanan  (Winarno, 1992). 

4.  Tekstur

Hasil penilaian panelis terhadap rasa ikan sepat rawa asin presto disajikan pada Gambar 9.

                Gambar 9.  Nilai hedonik tekstur

Hasil penilaian panelis terhadap tekstur yang dihasilkan produk ikan sepat rawa asin presto diketahui berkisar antara 1,28 sampai 2,64.  Peilaian rasa tertinggi diberikan panelis pada sampel A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC) sedangkan penilaian rasa terendah diberikan pada sampel A3T3 (konsentrasi garam 15% pada pengeringan oven suhu 70oC).  Adanya pemakaian suhu yang tinggi pada proses pengeringan akan menyebabkan terjadinya case hardening sehingga teksturnya akan menjadi keras dan tidak disukai oleh panelis.  Pada pengeringan menggunakan sinar matahari, kandungan proteinnya lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan menggunakan oven sehingga mengakibatkan teksturnya menjadi keras.  Pada bahan yang banyak mengandung protein pada umumnya mempunyai tekstur keras       (Widyani dan Suciaty, 2008).
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa ikan sepat rawa asin presto dengan perlakuan A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Dari perbedaan penilaian ini diketahui bahwa panelis lebih menyukai sampel ikan sepat rawa asin dengan perlakuan A1T2 (konsenrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC).

5.  Kenampakan

Hasil penilaian panelis terhadap kenampakan yang dihasilkan produk ikan sepat rawa asin presto diketahui berkisar antara 1,6 sampai 2,4.  Peilaian rasa tertinggi diberikan panelis pada sampel A4T3 (konsentrasi garam 20% pada pengeringan oven suhu 70oC) sedangkan penilaian rasa terendah diberikan pada sampel A4T2 (konsentrasi garam 20% pada pengeringan oven suhu 60oC).  Hasil penilaian panelis terhadap tekstur ikan sepat rawa asin presto disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10.  Nilai hedonik kenampakan

Kenampakan dari suatu produk pangan dilihat dari keseragaman produk yang dihasilkan, dari ukuran atau bentuk serta warna produk pangan.  Kenampakan merupakan parameter organoleptik  yang penting karena pertama kali dilihat oleh konsumen.  Pada umumnya konsumen memilih makanan yang memiliki  kenampakan yang menarik (Soekarto, 2000). 
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa ikan sepat rawa asin presto dengan perlakuan A1T2 (konsentrasi garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC) berbeda nyata dengan perlakuan A4T3, A4T2, dan A4T1, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Dari perbedaan penilaian ini diketahui bahwa panelis lebih menyukai  sampel ikan sepat rawa  asin dengan perlakuan A1T2   (konsen garam 5% pada pengeringan oven suhu 60oC). Hal ini disebabkan pada perlakuan A1T2 memiliki warna dan bentuk yang menarik.


IV.  KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitin ini adalah:
1. Kombinasi perlakuan penggaraman, press cooked dan pengeringan dapat menghasilkan ikan sepat asin duri lunak.
2. Perlakuan perbedaan kosentrasi garam dan pengeringan (sinar matahari dan oven) berpengeruh nyata terhadap mutu ikan asin yang dihasilkan baik kadar air, kadar garam, dan mutu sensoris (warna, rasa, tekstur dan kenampakan)
3. Perlakuan terbaik berdasarkan parameter sensoris (warna, tekstur dan kenampakan) yaitu ikan asin dengan penggaraman 5% dan pengeringan dengan oven 60oC.
4. Kombinasi perlakuan penggaraman, press cooked dan pengeringan dapat menghasilkan ikan sepat asin duri lunak yang berkadar garam rendah dan berduri lunak.

a.       Saran
Pembuatan ikan asin duri lunak sebaiknya menggunakan penggaraman 5% dengan pengeringan menggunakan oven pada suhu 60oC. Perlu dikaji umur simpan ikan sepat asin duri lunak dengan berbagai pengemas dan metode penyimpanan.



DAFTAR PUSTAKA

Adwyah, R. 2007.  Pengolahan dan Pengawetan Ikan.  Bumi Aksara.  Jakarta.

Aitken, A dan J.J. Connel 1979 dalam Heruwati, S. 1996.  Pengaruh Pemindangan dan Pengemasan Hampa Udara terhadap Kadar Asam Lemak Omega-3 Ikan Pindang.  Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.  Vol.II No.4.

Arsyad, H.  1990.  Penuntun Pengolahan Ikan.  PD Mahkota.  Jakarta.

Astawan, M.  2005.   Pempek  Nilai  Gizi  Kapal selam Paling Tinggi.  http//www.kesehatan/news/htm. Diakses tanggal 8 desember 2008.

BPS.  2007.  Sumatera Selatan dalam Angka.  Propinsi Sumatera Selatan.

Buckle, K.A., Edward, R.A., Fleet G.H., dan M.Wootton.  1987.  Ilmu Pangan diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono.  Universitas Indonesia Press.  Jakarta.

Kuswurj, R. 2008.  Proses Hidrolisis dan Aplikasinya pada Industri. (online) www. Ana7or.net.tc. Diakses pada tanggal 8 Mei 2009.

Rahayu, E.S.  2000.  Bakteri Asam Laktat dan Fermentasi Tradisional Indonesia Nilai Gizi dan Kajian Manfaatnya.  Kumpulan Jurnal Widya Karya Nasional Khasiat Makanan Tradisional.

Rahayu WP., Ma'oen S, Suliantari, Fardiaz S.  1992.  Teknologi Fermentasi Produk Perikanan.  Depdikbud.  Dirjen Dikti.  PAU Pangan dan Gizi. IPB.  Bogor.

Ray, B.  2001.  Dasar-Dasar Mikrobiologi Pangan.  Alih Bahasa:  Rindit Pambayun dan Rahmad Hari Purnomo.  Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya.

Soekarto, S.  2000.  Metodelogi Penelitian Organoleptik.  Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

Widyani, R dan Suciaty, T.  2008.  Prinsip Pengawetan Pangan.  Swaganti Press.  Cirebon.

 Winarno, F.G.  1992.  Pangan, Gizi, Teknologi dan Consumen.  PT. Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Yeo, H and T.  Shibamoto.  1991 dalam Ulfa, N.  2008.  Masa Simpan Bandung Presto dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.).  [kripsi].  Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.