Oleh: Rinto
1. Mikotoksin dan bahaya yang ditimbulkan
Mikotoksin merupakan kelompok zat kimia beracun yang dihasilkan oleh jamur/kapang yang biasanya tumbuh pada sejumlah tanaman. Mikotoksin dapat diproduksi sebelum proses pemanenan tanaman dan dapat meningkat secara dramatis setelah panen jika kondisi pasca panen menguntungkan untuk pertumbuhan jamur lebih lanjut. Paparan mikotoksin pada manusia dapat terjadi secara langsung melalui konsumsi bahan pangan dari produk pertanian yang terkontaminasi mikotoksin seperti jagung, beras, dan gandum, maupun dari produksi hewan ternak seperti susu.
Pada dosis tinggi, mikotoksin menghasilkan gejala-gejala akut dan kematian, namun pada dosis yang lebih rendah, mikotoksin tidak menghasilkan gejala klinis yang signifikan untuk kesehatan masyarakat. Beberapa mikotoksin memiliki sifat carcinogenic, immunosuppressive, neurotoxic, estrogenic ataupun teratogenic activity. Beberapa jenis kapang yang menghasilkan mikotoksin dapat dilihat pada Tabel 1.
Keberadaan mikotoksin pada bahan pangan maupun pakan akibat oleh adanya pembentukan mikotoksin oleh beberapa jamur/kapang. Beberapa jenis kapang yang menghasilkan mikotoksin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis Kapang dan Mikotoksin yang Dihasilkan
No | Jenis Kapang | Mikotoksin |
1 | Aspergillus parasiticus | Aflatoxins B1, B2, G1, G2 |
2 | Aspergillus flavus | Aflatoxins B1, B2 |
3 | Fusarium sporotrichioides | T-2 toxin |
4 | Fusarium graminearum | Deoxynivalenol (or nivalenol) Zearalenone |
5 | Fusarium moniliforme (F. verticillioides) | Fumonisin B1 |
6 | Penicillium verrucosum | Ochratoxin A |
7 | Aspergillus ochraceus | Ochratoxin A |
Sumber: FAO (2004)
Dilihat dari sifat mikotoksin yang dapat menyebabkan carcinogenic, immunosuppressive, neurotoxic, estrogenic ataupun teratogenic activity maka beberapa Negara mengatur kandungan mikotoksin pada beberapa bahan pangan/pakan dengan menetapkan batasan maksimumnya.
Tabel 2. Standar maksimum mikotoksin di beberapa Negara
Micotoxin | Bahan panganpakan | Limits in Food or Feed (ug/kg or ppb) | ||||
USA | UE | Jepang | Cina | Indonesia | ||
Aflatoxin, | All foods, except milk | 20 | 2-15 | 10 | - | 0,5 |
Aflatoxin | Rice products | 20 | 10 | 10 | 10 | - |
Aflatoxin M1 | Milk | 0,5 | 0,05 | 10 | 0,5 | 0,5 |
Aflatoxin | Most feed for finishing animals, except swine | 300 | 20 | 20 | - | - |
Aflatoxin | Feed for young animals | 20 | 10 | 10 | - | - |
Fumonisin B1B2B3 | Whole or partially degermed dry milled corn products | 4000 | 1750 | - | - | 2000 |
Fumonisin B1B2B3 Popcorn | Popcorn | 3000 | 1750 | - | - | 1000 |
Fumonisin B1B2B3 | Degermed dry milled corn Products | 2000 | 2000 | |||
Ochratoxin | A Dried vine fruits | 10 | 10 | |||
Ochratoxin 5 | A Cereal grains | 5 | 5 | |||
Deoxynivalenol (DON) | Finished wheat for humans | 1000 | 500 | 1100 | 1000 | 1000 |
Deoxynivalenol (DON) | Grain and by products, Ruminants | 10000 | 4000 | |||
Deoxynivalenol (DON) | Grain for swine | 5000 | 1000 | |||
Patulin 50 50 50 | Apple juice and concentrates | 50 | 50 | 50 | - | 50 |
Patulin | Apple products labeled for Children | 50 | 10 | 50 | 10 | |
Zearalenone | Animal feeds | - | - | 1000 | - | - |
Sumber: Benbrook, 2011
Sebagian standar maksimum mikotoksin di USA, UE, Jepang dan Cina belum ditetapkan Indonesia, dan sebaliknya beberapa astandar maksimum mikotoksin di Indonesia tidak diterapkan di beberapa Negara. Hal ini terkait dengan kebijakan Negara masing-masing yang mengatur regulasi mikotoksin dengan mempertimbangkan kepentingan konsumen dan produsennya. Lebih jelasnya, batasan kandungan mikotoksin di Indonesia yang diatur dalam SNI 7385 Tahun 2009, Dalam beberapa tahun terakhir keracunan akut yang disebabkan oleh adanya aflatoksin banyak dilaporkan. Di Kenya terdapat 125 kematian terjadi pada kasus keracunan yang menimpa 317 kasus keracunan akibat mengkonsumsi jagung yang terkontaminasi aflatoksin selama tahun 2004-2006 (Aziz-Baumgartner et al, 2005;.. Nyikal et al, 2004). Beberapa pengaruh mikotoksin pada manusia dan hewan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Pengaruh mikotoksin pada manusia dan hewan
No | Micootoxin | Human health effects | Animal health effects |
1 | Aflatoxin | Liver cancer | Liver damage |
Acute aflatoxicosis | Immune suppression | ||
Immune suppression | Reduced weight gain and productivity | ||
Stunted growth in children | Lower eggshell quality in poultry | ||
2 | Fumonisins | Esophageal cancer | Equine leukoencephalomalacia |
Neural tube defects in babies | Porcine pulmonary oedema | ||
Potentially increased susceptibility to HIV | Immune suppression | ||
Reduced weight gain and productivity | |||
3 | Deoxynivalenol | Gastrointestinal disorders | Gastrointestinal disorders |
Immune disfunctions | Immune disfunctions | ||
Reduced weight gain and productivity | Reduced weight gain and productivity |
Sumber: Wu, et al., 2011
Aflatoksin, yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus, adalah racun alami yang paling ampuh menyebabkan kanker hati (Groopman et al., 2008). Aflatoksin dapat mencemari berbagai bahan pangan/pakan termasuk jagung, kacang tanah, biji kapas, dan berbagai rempah-rempah (Bandyopadhyay et al, 2007.). Untuk orang yang secara kronis terinfeksi hepatitis B atau C virus, konsumsi aflatoksin meningkatkan resiko kanker hati (carsinoma hepatoseluler) hingga tiga puluh kali lipat (Groopman et al., 2008). Aflatoxicosis akut dapat menyebabkan gejala kerusakan pencernaan, kerusakan hati, dan bahkan kematian. Dalam beberapa tahun terakhir, ratusan kasus aflatoxicosis di Afrika terkait dengan konsumsi jagung (Lewis et al., 2005).
Paparan aflatoksin juga berhubungan dengan immunotoxicity pada manusia (Jolly et al, 2006), selain itu aflatoksin juga menyebabkan pertumbuhan yang terhambat pada anak-anak, disebabkan oleh kerusakan usus (Gong et al., 2008). Dalam banyak spesies hewan, aflatoksin B1 dapat menginduksi tumor hati dan dikaitkan dengan immunotoxicity, berkurangnya kenaikan berat badan dan produktivitas dengan menurunkan produksi telur dan kualitas cangkang unggas (Bondy dan Pestka, 2000).
Fumonisins, yang dihasilkan oleh jamur Fusarium verticillioides dan Fusarium proliferatum, adalah kelompok mikotoksin yang terutama mencemari jagung. Penelitian epidemiologi telah dikaitkan dengan peningkatan resiko fumonisin terhadap kanker esofagus pada manusia di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia, serta penduduk Afrika Amerika di Charleston, South Carolina (Marasas, 1996). Konsumsi Fumonisin juga telah dikaitkan dengan kerusakan neural tube (saluran saraf) di sepanjang perbatasan Texas-Meksiko (Marasas et al, 2004, Missmer et al, 2006). Tingkat fumonisin yang tinggi dalam makanan hewan menyebabkan penyakit leukoen cephalomalacia pada kuda dan pulmonary oedema (paru-paru) pada babi dan berbagai efek merugikan lainnya pada beberapa spesies hewan mulai dari pengaruh pengurangani berat badan, produktivitas serta immunotoxicity (Wu dan Munkvold, 2008). Penelitian terbaru menghubungkan keterkaitan fumonisin di Afrika dengan peningkatan kerentanan terhadap HIV (Williams et al., 2010).
Deoxynivalenol (DON), juga disebut 'vomitoxin', diproduksi oleh jamur Fusarium graminearum dan Fusarium culmorum. Ini menyebabkan pengaruh disfungsi pencernaan (misalnya anoreksia, muntah, dan mual), pengaruh terhadap
immunotoxicity dan kehilangan produktivitas (Bondy dan Pestka, 2000). Penelitian terbaru menyebutkan adanya pengaruh DON terhadap fungsi kekebalan dan berat badan pada hewan yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang serius jika mengkonsumsi DON dalam kadar yang tinggi dalam makanan (Amuzie dan Pestka, 2010). Bukti toksikosis DON pada manusia jarang dijumpai (Sudakin, 2003), meskipun studi epidemiologis di Cina menunjukkan bahwa DON dapat menyebabkan efek emetik pada manusia (Pestka dan Smolinski, 2004). Studi pada sel-sel usus manusia menunjukkan bahwa DON dapat mempengaruhi penyerapan zat gizi (Maresca et al., 2002)
immunotoxicity dan kehilangan produktivitas (Bondy dan Pestka, 2000). Penelitian terbaru menyebutkan adanya pengaruh DON terhadap fungsi kekebalan dan berat badan pada hewan yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang serius jika mengkonsumsi DON dalam kadar yang tinggi dalam makanan (Amuzie dan Pestka, 2010). Bukti toksikosis DON pada manusia jarang dijumpai (Sudakin, 2003), meskipun studi epidemiologis di Cina menunjukkan bahwa DON dapat menyebabkan efek emetik pada manusia (Pestka dan Smolinski, 2004). Studi pada sel-sel usus manusia menunjukkan bahwa DON dapat mempengaruhi penyerapan zat gizi (Maresca et al., 2002)
2. Komoditi Potensial tercemar Mikotoksin
Dari bermacam jenis mikotoksin, aflatoksin merupakan salah satu yang paling banyak dibicarakan di Indonesia. Tabel 9 menunjukkan beberapa mikotoksin yang relatif sering dijumpai. Mikotoksin dapat muncul disepanjang alur pengadaanbahan pangan/pakan, mulai dari penanaman, panen sampai penyimpanan. Bisa jadi sebelum bahan pangan/pakan dipanen, sudah terkontaminasi mikotoksin.
Fusarium, penghasil mikotoksin jenis zaeralenone, trichothecenes, fumonisin, merupakan contoh jamur yang paling sering mengkontaminasi selama masa penanaman. Sedangkan jamur yang sering mengkontaminasi selama di gudang penyimpanan ialah Aspergillus dan Penicillium yang menghasilkan aflatoksin dan ochratoxin. Pada umumnya dalam keadaan normal, jamur-jamur tersebut hidup secara saprofit (menumpang pada inang tetapi tidak mengambil makanan dari inang tersebut). Akan tetapi, jika keadaan lingkungan sekitarnya berubah menjadi ideal yaitu suhu udara baik, kelembaban cukup tinggi dan ada substrat yang cocok untuk ditumpangi, maka jamur tersebut akan tumbuh subur dan memproduksi mikotoksin.
Berdasarkan data survei mikotoksin di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam) pada 2009, menunjukkan bahwa aflatoksin B1 dan fumonisin paling sering ditemukan mengkontaminasi bahan pangan (jagung, gandum, bekatul, bungkil kedelai, corn gluten meal, DDGS) maupun ransum jadi dengan persentase sampel positif mencapai 52% sampai 58%. Inilah yang menjawab pernyataan kenapa aflatoksin paling familiar di dunia pangan.
Tabel 9. Jenis Mikotoksin dan sumber Bahan yang sering Terkontaminasi
No | Jenis Mikotoksin | Jamur/Kapang | Bahan yang sering terkontaminasi |
1 | Aflatokxin | Aspergilus flavus Aspergilus paraciticus | Jagung, biji kapuk, kacang, kedelai |
2 | Ochratoxin A | Aspergilus ochraceus Aspergillus nigri Penicillium verrucoosum | Gandum, barley, oats, jagung |
3 | Trichothecenes (DON, T-2, DAS) | Fusarium graminearum Fusarium culmorum | Jagung, gandum, barley |
4 | Zearalenon | Fusarium graminearum | Jagung, gandum, barley, rumput |
5 | Fumonisin | Fusarium verticibides Fusarium proliferatum | Jagung |
6 | Moniliformin | Fusarium miniliformin | Jagung |
7 | Patulin | Penicilium requeforti | Apel, Silase rumput |
Sumber: National Research Council (NRC), 2004 dalam www. Infomedion.co.id
3. Pengaruh Perubahan Cuaca terhadap Mikotoksin
Suhu permukaan bumi yang terus mengalami pemanasan akan berpengaruh terhadap pola iklim, yang tentunya juga menyebabkan perubahan-peruahan di bumi. Kondisi ini menuntut para petani, industri-ndustri makanan, serta pembuat kebijakan harus peduli tentang resiko perubahan mikotoksin baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, suhu dan curah hujan dapat mendukung ataupun menghambat pertumbuhan jamur serta kontaminasi mikotoksin pada berbagai produk pertanian. Dalam jangka panjang, tren iklim dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap penyebaran jamur, mikotoksin, dan penyebaran tanaman pembawa jamur.
Mikotoksin merupakan salah satu risiko bawaan makanan yang tergantung pada kondisi iklim. Kemampuan jamur untuk menghasilkan mikotoksin sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban relatif, serangan serangga dan kondisi stres tanaman (Miraglia et al., 2009). Selain itu, curah hujan yang lebih ekstrim yang disertai dengan suhu tinggi akan mendukung pembentukan DON dan fumonisin. Pertumbuhan dan produksi mikotoksin bervariasi tergantung pada kondisi tanaman yang terinfeksi, serta beberapa faktor lain yang mendukungnya, seperti perbedaan suhu. Perubahan suhu dapat memiliki pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan jamur atau toksin yang dihasilkan. Wu et al., 2011, mengkaji beberapa pertumbuhan jamur/kapang dan produksi mikotoksin pada beberapa suhu, dan Aw. Masing-masing kapang memiliki suhu optimum pertumbuhan dan pembentukan mikotoksin yang berbeda namun dalam kisaran suhu 20-35oC. Sumber: Wu, et al., 2011
a. Perubahan iklim dan kontaminasi aflatoksin
Faktor terbesar yang berkontribusi terhadap konsentrasi tinggi dari aflatoksin adalah stres pada jamur akibat suhu tinggi dan kekeringan (kemarau). Tingginya suhu dan kondisi kering mendukung pertumbuhan dan penyebaran dari A. flavus yang merusak pertumbuhan dan perkembangan jagung (Cotty dan Jaime-Garcia, 2007). Tingginya suhu dan curah hujan yang rendah mendukung produksi konidia pada A. flavus dan penyebarannya.
Shearer (1992) menemukan adanya A. flavus di tanah Iowa pada tahun 1988 dengan jumlah 1.200 cfu/g. Populasi ini, turun menjadi 700 dan 396 cfu/g pada 1989 dan 1990 dan untuk 14 cfu/g pada tahun 1991 dan 0,3 cfu/g oleh 1993 (McGee et al., 1996). Beberapa studi melaporkan bahwa suhu tanah yang tinggi disertai dengan kekeringan berkorelasi positif dengan kontaminasi aflatoksin dan peningkatan kejadian aflatoxigenic (Jaime-Garcia dan Cotty, 2010). Jones et al. (1980) menemukan bahwa konsentrasi spora A. flavus negative pada udara ketika curah hujan tinggi dan sebaliknya pada kondisi udara kering produksi dan penyebaran inokulum A. flavus meningkat.
b. Perubahan iklim dan kontaminasi fumonisin
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan Fusarium dan kontaminasi fumonisin adalah suhu, adanya kerusakan oleh serangga, stres kekeringan, dan aktivitas air (Bush et al, 2004). Meskipun jamur yang memproduksi fumonisin dapat ditemukan di manapun jagung tumbuh, namun pembentukan fumonisisn sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh kondisi geografis. Pada gandum dan jagung, terbentuknya fumonisin yang tumbuh di daerah dataran rendah, biasanya lebih besar dibandingkan di daerah ketinggian. Hal ini disebabkan karena di dataran rendah kondisi suhu yang relatif lebih hangat daripada didaerah tinggi.
Di Amerika Tengah dan Amerika Selatan serta Asia Tenggara, fumonisins
merupakan ancaman penting produksi jagung. Dilain pihak DON mendominasi pada daerah yang lebih tinggi. Di Eropa, risiko fumonisin lebih tinggi di Italia, Spanyol, dan Prancis. Di Afrika, semua daerah penghasil jagung beresiko untuk terkontaminasi fumonisins.
merupakan ancaman penting produksi jagung. Dilain pihak DON mendominasi pada daerah yang lebih tinggi. Di Eropa, risiko fumonisin lebih tinggi di Italia, Spanyol, dan Prancis. Di Afrika, semua daerah penghasil jagung beresiko untuk terkontaminasi fumonisins.
De la Campa et al. (2005) menjelaskan pengaruh musim (suhu dan curah hujan) dengan konsentrasi fumonisin pada biji jagung. Suhu antara 15 dan 34 °C merupakan suhu optimum pertumbuhan kapang. Pembentukan fumonisins lebih tinggi ketika suhu harian maksimum melebihi 34 °C dengan curah hujan > 2 mm. Menurt Maiorano et al. (2009), Sporulasi, germinasi dan pertumbuhan F. verticillioides optimum pada 25-30 °C. Kondisi yang optimal untuk produksi fumonisin adalah pada suhu 30 °C dan aktivitas air yang tinggi (Marin et al, 1999). Namun, kondisi optimal untuk produksi fumonisin oleh F. proliferatum terdapat suhu yang lebih rendah.
c. Perubahan iklim dan kontaminasi deoxynivalenol
Pada jagung, pembentukan DON oleh jamur terjadi pada kondisi lembab. DON terbentuk akibat adanya curah hujan yang tinggi di akhir pertumbuh kapang (Payne, 1999). Berdasarkan pada profil trichothecene, isolat dari F. graminearum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu 15-asetil-deoxynivalenol (15-ADON), 3-asetil- deoxynivalenol (3-ADON) dan nivalenol (NIV). 15-ADON dominan di Amerika Utara dan 3-ADON di Amerika Selatan dan Eropa (Gale et al, 2007;.. Ward et al, 2002). Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa frekuensi 3-ADON meningkat dengan pesat di Amerika Utara, menggantikan 15-ADON (Puri dan Zhong, 2009). Mereka beranggapan bahwa peningkatan frekuensi 3-ADON mungkin disebabkan karena kondisi optimal (kebugaran) dari isolate 3-ADON dalam gandum dibandingkan isolate15-ADON, karena isolate 3-ADON telah terbukti lebih agresif daripada 15-ADON dalam menghasilkan spora dan DON serta memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat (Ali et al, 2009).
Peran perubahan iklim terhadap penyebaran F. graminearum di AS sampai saat ini belum diketahui. Studi lapangan akan bermanfaat dalam menentukan: (1) apakah persyaratan suhu yang berbeda antara isolate penghasil 3-ADON dan 15-ADON, dan (2) apakah ada perbedaan dalam saprophytic dan kondisi patogen serta kemampuan produksi DON antar 3-ADON dan 15-ADON pada kondisi cuaca tertentu dari proyeksi perubahan iklim.
Bandar Judi Bola, Live Casino, Agen Poker & Live Game Terbaru dan Terpercaya di Asianbola77
ReplyDeleteGampang Daftar, Gampang Main dan Gampang Menangnya..
1 USER ID UNTUK SEMUA PERMAINAN :
- SPORTBOOK
- LIVE CASINO
- POKER
- SLOT GAME
- LIVE GAME
Segera Bergabung Bersama Kami di Asianbola77
Promo Menarik Dari Asianbola77
- Minimal Deposit Rp 25.000
- Minimal Withdraw Rp 50.000
- BONUS NEW MEMBER SPORTBOOK 100%
- BONUS DEPOSIT HAPPY HOUR 09:00 - 21:00 WIB
- BONUS CASHBACK UP TO 15%
- BONUS LIVECASINO UP TO 0,8%
- BONUS ROLLINGAN POKER 0,3%
- BONUS REFFERAL 2.5%
Contact Us Now :
?? Wechat : Asianbola77
?? BBM : DC8820C7
?? Wa : +6281244043118
?? Line : Asianbola77
?? Link Pendaftaran : lc.chat/now/9325575/