Thursday, 19 January 2012

OPTIMALISASI PRODUKSI BAKTERIOSIN (REVIEW)

Oleh: Rinto


I.          PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Bakteri asam laktat (BAL) dari waktu kewaktu digunakan di dalam proses fermentasi dan biopreserfatif berbagai bahan pangan. Adanya penurunan pH, kompetisi nutrisi dan berbagai senyawa antibakteri  (bakterisidal) yang dihasilkan bakteri asam laktat  dapat menghambat mikroorganisme lainnya. Beberapa senyawa antibakteri yang disintesis oleh bakteri asam laktat adalah hidrogen peroksida, karbondioksida, diasetil, asam organic, asam lemak, dan bakteriosin.
Dari beberapa komponen bioaktif yang dihasilkan, bakteriosin merupakan hasil metabolisme bakteri asam  laktat yang banyak dikaji dan digunakan sebagai bahan pengawet, karena memiliki sifat yang tahan terhadap panas, tidak mudah menguap seperti hidrogen peroksida dan alcohol, tidak merubah aroma, dan rasa seperti asam laktat, serta tidak merubah warna produk akhir.  Joeger et al. (2000) mendefinisikan bakteriosin sebagai protein atau polipetida yang disintesis oleh ribosom pada bakteri yang mempunyai aktivitas bakterisidal dan mudah dicerna oleh protease (enzim pencernaan manusia). Bakteriosin efektif sebagai antibakteri terhadap bakteri pathogen dan pembusuk, diantaranya Bacillus, Staphylococcus, Listeria monocytogenes, Morganella morganii,  serta bakteri asm laktat lainnya (Tahara et al., 1996)
Beberapa BAL diketahui menghasilkan bakteriosin dengan spektrum antibakteri yang luas melawan bakteri Gram positif sehingga potensial digunakan sebagai biopreservatif makanan (Ray, 1996). Nisin mampu menghambat Enterococcus, Listeria, Staphylococcus, Bacillus, Clostridium dan bakteri asam laktat lain (Meghrous et al., 1999); Pediocin PA-1 dapat menghambat Carnobacterium, Enterococcus, Staphylococcus, Bacillus cereus, Clostridium dan bakteri asam laktat lain (Eijsink et al., 1998); sakacin A menghambat Carnobacterium,Enterococcus, Leuconostoc, Bacillus cereus serta BAL lainnya (Guyonnet et al., 2000).
Klaenhammer 1993, mengelompokan bakteriosin kedalam 3 kelas, yaitu kelas I yang merupakan bakteriosin dengan peptide kecil (<5kDa) disebut dengan golongan lantibiotik, seperti nisin, laktisin 481, laktosin S, dan karnosin U149. Kelas II yaitu bakteriosin dengan peptide kecil non lantibiotik yang memiliki berat molekul  < 15kDa, bersifat tahan panas (100oC selama 30 dmenit dan 121oC selama 15 menit, yang termasuk bakteriosin kelas II adalah diplokokin, laktokokin A, laktosin 27, laktasin B, laktasin F, sakasin A, pediosin PA-1, leukosin A-UAL 187, dan karnobakteriosin. Sedangkan bakteriosin kelas III adalah non lantibiotik dengan peptide besar (> 15kDa) yang peka erhadap panas, inaktif dalam suhu 60-100oC selama 10-15 menit.
Produksi bakteriosin umumnya dilakukan dalam kultur substrat cair. Berbagai faktor dapat mempengaruhi produksi bakteriosin dalam media kultur. Aktivitas produksi bakteriosin oleh BAL dipengaruhi oleh faktor pH media, suhu inkubasi, jenis sumber karbon, jenis sumber nitrogen, serta fase pertumbuhan, serta kosentrasi NaCl. Jenis sumber karbon maupun sumber nitrogen yang digunakan dalam medium produksi mempengaruhi laju pertumbuhan sel BAL, selanjutnya berpengaruh terhadap metabolisme produksi bakteriosin (Kim dan Ahn, 2000).



II.       PRODUKSI BAKTERIOSIN

2.1. Sintesis Bakteriosin
Bakteriosin disintesis selama fase eksponensial pertumbuhan sel mengikuti pola klasik sintesis protein. Sistem ini diatur oleh plasmid DNA ekstra kromosomal dan dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama pH. Umumnya bakteriosin disintesis melalui jalur ribosomal, sedangkan kelompok lantibiotik disintesis secara ribosomal sebagai prepeptida kemudian mengalami modifikasi. Prinsip regulasi sintesis bakteriosin diatur oleh adanya gen pengkode produksi dan pengkode imunitas.
Pola sintesis bakteriosin dapat dilihat pada Gambar 1.
 
A.    Sintesis lantibiotik                                           B. Sintesis bacteriosin kelas II
Sumber: Chen and Hoover, 2003.
Gambar 1. Biosintesis bakteriosin

Biosintesis  lantibiotik dimulai dengan penyusunan gen pengkode prebakteriosin untuk menyusun prepeptida (Lan A). Prebakteriosin dimodifikasi oleh enzim Lan B dan Lan C, ditranslokasikan melalui ABC-transport LanT  dan diproses oleh LanP yang menghasilkan bakteriosin, demikian pula dengan protein yang bersifat sebagai self-protection (immunity) diproduksi bersamaan dengan produksi bakteriosin. Histidin protein kinase (HPK) yang terdapat pada bakteriosin mengalami autophosphorilasi menghasilkan phosphor yang ditransfer ke respon regulator (RR). RR mengaktivasi transkripsi gen bakteriosin (Chen and Hoover, 2003).
Biosintesis pada bakteriosin kelas II, dimuai dengan formasi prebakteriosin dan prepeptida sebagai induction factor (IF). Prebakteriosin dan pre-IF diproses dan ditraslokasi oleh ABC-transport yang menghasilkan bakteriosin dan IF. Histidine proein kinase mengalami autophosphorilasi dengan adanya IF yang menghasilkan phosphor yang ditransfer ke RR. RR mengaktivasi transkripsi gen bakteriosin dan imunitas (Chen and Hoover, 2003)..
Sekresi prepeptida bakteriosin dilakukan pada fase eksponensial dan diproduksi secara maksimal pada fase stasioner, sehingga bakteriosin tergolong sebagai metabolit sekunder dari bakteri asam laktat.  Pola produksi bakteriosin oleh bakteri asam laktat dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
Sumber: Stoyanova dan Levina (2006)
Gambar 2. Produksi duration dari Lactococcus lactic subs. lactic F-116
(1.    pertumbuhan bakteri; 2. produksi bakteriosin)

2.2. Novelty Isolat Bakteri Asam Laktat Penghasil Bakteriosin
Bakteriosin dihasilkan oleh bakteri asam laktat (BAL), namun tidak semua bakteri asam laktat menghasilkan bakteriosin. Oleh karena itu skrining bakteri asam laktat diperlukan untuk mengisolasi BAL  penghasil bakteriosin. Skrining BAL penghasil bakteriosin dapat dilakukan dengan metode skringing langsung dan metode skrining tidak langsung.
Yang termasuk dalam Metode skrining langsung adalah metode difusi sumur. Metode ini dikembangkan oleh Tagg dan McGiven (1971) dengan menumbuhkan organism yang diuji sebagai penghasil bakteriosin dan bakteri indikator (antagonis) secara bersamaan. Supernatan dari kultur yang diduga penghasil bakteriosin ditempatkan dalam sumuran sehingga akan berdifusi pada media agar. Timbulnya zona jernih penghambatan pada media agar (media uji) disekitar sumuran merupakan pertanda adanya bakteriosin yang dihasilkan bakteri asam  laktat yang menghambat pertumbuhan bakteri indikator. Metode difusi sumur sering digunakan dalam skrining bakteri asam laktat penghasil bakteriosin. Beberapa factor yang dapat memberikan hasil negative yang salah dalam menggunakan uji difusi sumur adalah adanya agregasi, bakteriosin yang bersifat non-diffusable, adanya inaktivasi bakteriosin oleh protease, dan kosentrasi bakteriosin yang rendah.
Uji spot on the lawn (Gratia, 1946) dan metode flip streak (Kelussy dan Piguet, 1970) merupakan metode skrining bakteriosin tidak langsung. Pada kedua metode ini, isolat bakteri asam laktat yang diduga menghasilkan bakteriosin ditumbuhkan terlebih dahulu pada media uji, sehingga akan membentuk koloni dan bakteriosin terlebih dahulu. Pada uji spot on the lawn, koloni dilapisi (overlay) dengan bakteri indikator. Sedangkan pada metode flip streak, bakteri indicator digoreskan tegak lurus dengan bakteri asam laktat. Adanya zona jernih membuktikan bahwa bakteri indikator tidak tumbuh karena adanya bakteriosin dari bakteri asam laktat. Hasil aktivitas antagonis bakteriosin terhadap bakteri indicator dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
Sumber: Mojgani dan Amirnia, 2007
Gambar 3. Skrening bakteriosin (A. agar well diffusion assay;
 B. Spot on lawn assay; C. Papper disc assay)

Aktivitas penghambatan bakteriosin dinyatakan dalam activity unit (AU) ataupun bacteriocin unit (BU). Nilai AU ataupun BU dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu pertama, kebalikan dari pengenceran yang menunjukan penghambatan pertumbuhan sebesar 50% dibandingkan dengan sampel kontrol (tanpa bakteriosin) yang dilakukan dengan metode turbidimetri. Kedua, kebalikan dari pengenceran tertinggi yang menghasilkan zona jernih penghambatan pertumbuhan pada media pertumbuhan yang dilakukan dengan metode agar plate assay.
2.3. Kondisi Optimium Produksi Bakteriosin
2.3.1.      Media optimum pertumbuhan dan pembentukan bakteriosin
Bakteri asam laktat merupakan bakteri yang tergolong fastidious yang tumbuh pada media kompleks. Beberapa media yang sering digunakan untuk pembiakan bakteri asam laktat adalah media MRS (de Man Rogosa and Sharpe), Triptone Glukose yeast Extract (TGE). dan Glucose, Yeast Pepton (GYP). Beberapa komponen nutrisi penyusun media kultur bakteri asam laktat yaitu glukosa dan gliserol sebagai sumber karbon dan energy, yeast extract dan beef extract sebagai sumber vitamin dan nitrogen, pepton/tripton sebagai sumber asam amino, N, S, dan P, serta berbagai mineral KH2PO4, K2HPO4, MgSO4, MnSO4, dan PeSO4 serta CaCO3 sebagai penstabil pH.
Sejumlah BAL yang ditumbuhkan pada media kompleks semi sintetis yang mengandung protein tinggi seperti tripton, pepton, ekstrak daging, dan ekstrak khamir seperti MRS (de Man Rogosa Sharpe) dapat menghasilkan populasi sel bakteri yang tinggi dan bakteriosin yang relatif banyak..  Ogunbanwo et al., 2003, melakukan produksi bakteriosin dari Lactobacillus brevis OG1 dengan menggunakan media MRS (glukosa 0,25% dan pepton 0,5%) yang ditambahkan beberapa nutrisi tambahan yaitu trypton, yeast extract, beef extract, NaCl, glucose, Tween 80, tri-amonium sitrat, Sodium asetat, MgSO4.7H2O, MnSO4 dan K2HPO4. Produksi bakteriosin Lactobacillus brevis OG1 dikondisikan pada 30oC selama 72 jam, Produksi bakteriosin tertinggi sebesar 6400 AU/mL terdapat pada penggunaan MRS dengan penambahan masing-masing Yeast extract (2-3%), NaCl (1-2%), glukosa (1%), dan Tween 80 (0.5%).
Bacillus thuringiensis memproduksi bakteriosin pada media glukosa yang sebelumnya dikultur pada media LB. Media glukosa terdiri dari glukosa dan gliserol sebagai sumber karbon, ammonium sulfat dan yeast extract sebagai sumber nitrogen dengan penambahan mineral KH2PO4, K2HPO4, MgSO4, MnSO4, dan PeSO4 serta CaCO3 sebagai penstabil pH. Kosentrasi Kombinasi media glukosa 0,5% dan gliserol 0,75%, yest extract 5%, menghasilkan bakteriosin dengan aktivitas tertinggi dibandingkan dengan kosentrasi lainnya (Kamoun, 2009).
Styoyanova dan Levina (2006), menyebutkan bahwa produksi optimum bakteriosin dari Lactococcus lactic subs. lactic F-116  pada fermentasi  yang terdiri dari glukosa (1%), KH2PO4 (2%), NaCl (0,2%), yeast autolysate (35mg%). Subtitusi sukrosa terhadap glukosa meningkatkan aktivitas bakteriosin sebesar 26% (dari 3890 IU/mL menjadi 5180 IU/mL) dan penambahan isoleusin meningkatkan aktivitas 28,5% (5250 IU/mL).  Selengkanya pengaruh subtitusi sukrosa dan penambahan isoleusin dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2 berikut ini.
Tabel 1. Pengaruh subtitusi sukrosa terhadap glukosa paada media pembentukan bakteriosin (Kh2PO4 1%, yeast autolysate 70mg% , glukosa/sukrosa 2%.
Sumber: Styoyanova dan Levina (2006)

Tabel  2. Pengaruh penambahan asam amino pada produksi bakteriosin L. lactic subs.  lactic F-116 KH2PO4 2% dan gluosa 1% selama 12 jam
Sumber: Styoyanova dan Levina (2006)

Pediosin AcH dari Pediococcus acidilactici H diproduksi optimum pada media TGE broth dengan komposisi triptikosa/triptosa (1%), glukosa (1%), ekstrak khamir (1%), tween 80 (0,2%), Mg2+ (0,005%), Mn2+ (0,005%), pada pH 6,5 dan suhu  inkubasi 37oC. Pada pH 4 dan dibawahnya, bila perbanyakan sel dan produksi asam hampir turun maka sejumlah besar pediosin AcH akan disekresikan ke dalam medium (Biswas et al, 1991).
Mahalnya media kultur bakteri asam laktat penghasil baskteriosin, memunculkan berbagai cara untuk mengganti, mensubtitusi maupun menambahkan komponen alami untuk mengurangi penggunaan media sintetis. Beauliau at al., 2009, melakukan penggunaan hidrolisat protein dari ikan herring dan mackerel sebagai sumber pepton dengan penambahan dextrose, yeast extract, NaCl dan K2HPO4 dengan pH dikondisikan 7. Kandungan asam amino hidrolisat protein ikan sebagai sumber nitrogen dapat dilihat pada Tabel 3. Penggunaan hidrolisat protein ikan, meningkatkan pertumbuhan Lactococcus lactic dan Pediococcus acidilactici bila dibandingkan dengan penggunaan media MRS. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.
Tabel 3. Kandungan asam amino sebagai sumber N pada hirolisat protein ikan
Sumber: Beaulieu, et al., 2009.

                                    A                                                                                 B
Sumber: Biaulieu, 2009
Gambar 3. Pertumbuhan Lactococcus lactic (A) dan Pediococcus acidilactici (B) pada media hidrolisat protein hering (▲), mackerel ( ▀) dan MRS (●).

2.3.2.      Peranan aerasi terhadap produksi bakteriosin
Sebagian besar bakteri asam laktat bersifat anaerobic fakultatif meskipun ada yang bersifat anaerobic obligat seperti Bifidobacteria.  Keberadaan oksigen pada kultur bakteri asam laktat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan berbagai komponen metabolit yang dihasilkan. Pada produksi bakteriosin bacthuricin F4 dari Bacillus thuringiensis, produksi optimum bakteriosin terdapat pada kultur dengan sedikit aerasi sedangkan produksi sel optimum terdapat pada kultur dengan aerasi tinggi (Kamoun et al., 2009)

2.3.3.      Peranan suhu terhadap produksi bakteriosin
Suhu merupakan faktor penting dalam pertumbuhan bakteri asam laktat dan produksi bakteriosin. Secara umum bakteri asam laktat tumbuh dan membentuk bakteriosin pada kisaran suhu 25-37oC dengan suhu optimum yang berbeda-beda. L. brevis OG1 tumbuh dan memproduksi bakteriosin optimum pada suhu 30oC selama 48-60 jam  inkubasi (Ogunbanwo, et al., 2003).   

2.3.4.      Peranan pH terhadap produksi bakteriosin
Seperti halnya suhu, pH merupakan factor penting dalam pertumbuhan dan pembentukan bakteriosin pada bakteri asam laktat. L. casei RN 78 tumbuh baik dan membentu bakteriosin optimum pada pH 5 dan 6 dalam media MRS. Selengkapnya dapat dilihat pada Table 3 berikut ini (Mojgani dan Amirnia, 2007).
Tabel 3. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteriosin L. casei RN 78
Sumber: Mojgani dan Amirnia, 2007

2.4. Kloning Gen Bakteriosin
Produksi bakteriosin dalam sel bakteri asam laktat berhubungan dengan gen penanda penghasil bakteriosin dalam plasmid DNA. Kemajuan teknologi menghasilkan teknologi isolasi gen penanda bakteriosin pada plasmid bakteri asam laktat tertentu. Oleh karena itu plasmid bakteri asam laktat sebagai penanda yang memproduksi bakteriosin dapat diisolasi dan dikloning dalam plasmid bakteri lain untuk kepentingan produksi bakteriosin. Isolasi dan cloning plasmid pembentuk bakteriosin dimulai dengan  maping  plasmid bakteriosin. Restrecsion menggunakan enzim tertentu akan  menghasilkan fragmentasi dari plasmid serta dapat mengetahui bagian plasmid yang menjadi penanda produksi bakteriosin. Maping plasmid penanda aktivitas/produksi bakteriosin dapat dilihat pada Gambar 5.

 
Sumber: Van Belkum et al., 1989.
Gambar 5. Maping plasmid bakteriosin dan restreksion frgmen plasmid penanda aktivitas bakteriosin (pMB225 merupakan fragmen plasmid dari pMB200 (BanHI-EcoRI).

Van Belkum et al. (1989) melakukan maping plasmid penanda aktivitas bakteriosin. Fragmen plasmid pMB 225 dengan enzim restreksion ClaI-ScaI serta pMB553 dengan enzim restreksion ScaI-HindII merupakan fragmen plasmid penanda produksi bakteriosin. Cloning gen pMB225 dan pMB553 dari Lactococcus lactic dilakukan pada Escherichia coli. Hasil cloning menunjukan bahwa bakteriosin yang dihasilkan dari E. coli memiliki aktivitas yang berbeda terhadap berbagai bakateri indikator bila dibandingkan dengan bakteriosin dari L. lactic. Ini menunjukan keberagaman aktivitas bakteriosin. Bakteriosin yang berasal dari genus bakteri asam laktat yang sama terkadang mempunyai daya aktivitas yang berbeda-beda.
Selain itu martin et al., 2007,  melakukan cloning enterosin A dari Enterococcus faecium pada Lactococcus lactic. Cloning dari bagian fragmen plasmid yang berbeda (pMG36c, pMPA15, dan pMPA10i) mempunyai aktivitas yang berbeda-beda pada bakteri indikator.

2.5. Purifikasi bakteriosin
Bakteriosin merupakan rangkaian polipetida yang dihasilkan dari rangkaian metabolism kompleks dalam sel bakteri. Kondisi ini menyebabkan keberadaan bakteriosin bercampur dengan metabolit lainnya yang kemungkinan berpengaruh terhadap aktivitas bakteriosin. Aktivitas bakteriosin meningkat seiring dengankemurniannya. Beberapa bakteriosin yang sudah dimurnikan adalah nisin, laktosin, diplokokin, laktasin B, pediosin AcH, dan pediosin PA-1. Beberapa tahapan dalam  purifikasi bakteriosin adalah presipitasi ammonium sulfat, kromatografi pertukaran ion, kromatografi interaksi hidrofobik dan kromatografi cair kinerja tinggi fase balik. 
Stern et al., 2006, melakukan purifikasi terhadap bakteriosin dari actobacillus salivarius. Aktivitas bakteriosin hasil purifikasi meningkat 89,8% dibandingkan dibandingkan dengan supernatant dari kultur bakteri. Selengkapnya dapat dilihat pada table berikut ini.

Tabel 4. Purifikasi dan aktivitas bakteriosin OR-7 dari L. salivarius

Sample
Vol (mL)
Protein (mg/mL)
Sp Activ. (AU/mg)
Purity (%)
Culture supernatant
6.500
1,2
14.000
0
Crude (NH4)2SO4 precipitate
480
3,2
29.000
9,1
SP Sepharose cation exchange
314
2,1
235.000
62,3
Octyl-Sepharose hydrophobic interaction chromatography
250
1,3
540.000
89,8

Sumber: Stern, et al., 2006




III.             PENUTUP

Bakterisin disintesis oleh ribosom bakteri asam  laktat, namun tidak semua bakteri asam laktat memproduksi bakteriosin. Optimalisasi produksi bakteriosin tergantung pada nutrisi media, kondisi kultur selama inkubasi (pH, suhu, aerasi) dan fase pertumbuhan (lamanya inkubasi). Masing-masing bakteri asam laktat memiliki kondisi optimum pembentukan bakteriosin yang berbeda, namun secara umum  media nutrisi harus memenuhi kebutuhan sumber karbon, nitrogen, phosphor, vitamin, dan mineral, selain itu umumnya produksi bakteriosin optimum pada pH netral dengan suhu yang berkisar antara 25-37oC. Produksi bakteriosin juga dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknologi cloning DNA/plasmid penanda bakteriosin pada bakteri produser seperti Escherichia coli.





DAFTAR PUSTAKA

Beaulieu, L., M. Desbiens., J. Thibodeau, and S. Thibault. 2009. Pelagic fish hydrolysates as peptones for bacterial culture media. J. Microbiol, 55: 1240-1249.

Chen H. and D.G. Hoover. 2003. Bacteriocins and their food applications. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. Vol 2. 82-100.

Eijsink VGH, Skeie M, Middelhoven PH, Brurberg MB, Nes IF. 1998. Comparative studies of class IIa bacteriocins of lactic acid bacteria. Appl Environ Microbiol 64:3275-81.

Guyonnet D, Fremaux C, Cenatiempo Y, Berjeaud JM. 2000. Method for rapid purification of class IIa bacteriocins and comparison of their activities. Appl Environ Microbiol 66:1744-8.

Joerger RD, Hoover DG, Barefoot SF, Harmon KM, Grinstead DA, Nettles-Cutter CG. 2000. Bacteriocins. In: Lederberg, editor. Encyclopedia of microbiology, vol. 1, 2nd edition. San Diego: Academic Press, Inc. p 383-97.

Kamoun , F., N. Zouari, I. Saadaoui, and S. Jaoua. 2009. improvement of Bacillus thuringiensis bacteriocin production through culture condition optimization. Preparative Biochemistry & Biotechnology. 39: 400-412.

Kim CHGE Ji dan C Ahn. 2000. Purification and molekuler characterization of a bacteriocin from Pediococcus sp KCA 1202-10 isolated from fermented flatfish. Food Sci Biotechnology 9: 270-276.

Klaenhammer, T.R. 1993. Genetics of bacteriocins produced by lactic acid bacteria. FEMS  microbiol. Rev. 12: 39–86. PMID: 8398217.

Martín , M.,  J. Gutiérrez, R. Criado, C. Herranz, L. M. Cintas, P.E. Hernández. 2007. Cloning, production and expression of the bacteriocin enterocin A produced by Enterococcus faecium PLBC21 in Lactococcus lactis. Appl Microbiol Biotechnol (2007) 76:667675

Meghrous J, Lacroix C, Simard RE. 1999. The effects on vegetative cells and spores of 3 bacteriocins from lactic acid bacteria. Food Microbiol 16:105-14.

Mojgani, N. and C. Amirnia. 2007. Kinetics of Growth and bacteriocin production in L. casei RN 78 isolated from a dairy sample in IR Iran. International journal of Dairy science 2(1): 1-12.

Ogunbanwo, S.T., A.I. Sanni, and A.A. Onilude. 2003. Influence of culture conditions on the production of bacteriocin by Lactobacillus brevis OG1. African Journal of Biotecnology Vol.2(7), 179-184.

Stern, N.J., E.A. Svetoch, B.V. Eruslanov, V.V. Perelygin, e.V. Mitsevich, I.P. Mitsevich, V.D. Pokhilenko, V.P. Levchuk, O.E. Svetoch, dan B.S. Seal. 2006. Isolation of a Lactobacillus salivarius strain and purification of its bacteriocin, which is inhibitor to campylobacter jejuni in the chicken gastrointestinal system. Antimicrobial agent and chemotheraphy. Vol 50 No. 9 3111-3116.

Stoyanova, l.G. and N.A. Levina. 2006. Componen of fermentation medium regulated bacteriocin synthess by the recombinant strain actococcus lactic subs. lactic F-116. Mikrobiologiya. Vol 75. No. 3. 342348.

Tahara T, Oshimura M, Umezawa C, Kanatani K. 1996. Isolation, partial characterization, and mode of action of acidocin J1132, a 2-component bacteriocin produced by Lactobacillus acidophilus JCM 1132. Appl Environ Microbiol 62:892-7.

Van Belkum, M.J, B.J. Hayema, A.Geis, . Kok, and G. Venema. 1989. Cloning of two bacteriocin genes from a Lactococcal bacteriocin plasmid. Applied and Environmental microbiology. Vol 55 no. 5: 1187-1191.


1 comment:

  1. Media optimum pertumbuhan dan pembentukan bakteriosin pragraf 1 dan 2 sumbernya dri mana iya...?

    ReplyDelete